Pukul 15.00. Rasa gelisah ini nggak hilang-hilang, malah semakin menjadi. Gelisah jikalau nggak dapat ijin pulang sore hari ini. Yah, meskipun tadi siang sudah ngomong kalau saya nggak bisa lembur hari ini, tapi napaknya bapak supervisor itu tidak menghiraukan.
“Saya
nggak bisa lembur hari ini. Saya mau langsung ke Serang ada tugas dari Dosen.”
Dengan bergaya seperti orang sibuk yang banyak urusan, saya berusaha meminta
ijin untuk pulang. Dan ternyata usahaku nggak sia-sia, supervisor botak itu
mengijinkan aku pulanng.
Pukul
16.15, saya keluar dari pabrik menuju pos satpam. Dan lagi-lagi saya merasa
bingung. Jam segini mau pulang pulang sama siapa? Anak-anak yang lain masih
kerja di dalam. Lembur.
Sepuluh
menit berlalu. Aku hanya bias bolak-balik nggak jelas di depan pos satpam,
berharap ada seseorang yang mau pulang dan bersedia memberiku tumpangan sampai
ke depan Modern Cikande.
“Sial.
Kenapa pabrik yang bisa dibilang mewah ini berada di perkampungan yang jauh
dari jalan raya. Nggak ada tukang ojek ataupun kendaraan umum yang bisa saya
tumpangi.” Aku menggerutu dalam hati.
“Silvi, tumben nggak lembur?” Tanya pak
Umar, salah satu satpam yang selalu ramah terhadapku.
“Lagi nggak pengin lembur pak” aku
menjawab sekenanya.
“Pulang sama siapa, Sil?” Tanya nya
lagi.
“Nggak tahu nih. Nunggu orang yang lewat
saja, pak.” jawabku sambil tersenyum, sedikit memelas.
Tiga
puluh menit berlalu. Aku masih menunggu di depan pos satpam, menanyakan di mana
tempat tujuan orang-orang yang mau pulang. “Yah, abang pulang di kampung
belakanng Neng. Maaf yah nggak bisa nganterin.” Kalimat-kalimat semacam itulah
yang dari tadi aku dengar. Aku hanya bisa diam. Kutarik nafas dalam-dalam.
“Beginikah rasanya nggak punya kendaraan sendiri? Selalu menunggu dan menunggu,
tak jelas pula siapa yang aku tunggu. Gelisah.
Nampaknya
Tuhan tak tega membuat aku lama menunggu. Tuhan mengirimkan seseorang untuk
memberiku tumpangan. Dari depan pos satpam aku memandangi seseorang yang sedang
mengendarai motornya dari tempat parkir. Dia cowok berkacamata dengan rambut
sedikit ikal menghentikan motornya tepat di hadapanku. Dengan sigap dia membuka
bagasi motornya untuk diperiksa oleh satpam. Aku tersenyum “Kakak, boleh ikut
sampai depan Modern?”
“Boleh.” Jawabnya ramah. Tuhan,
terimakasih telah memberiku pertolongan.
Selama
diperjalanan tidak ada percakapan yang khusus antara aku dan cowok berkacamata
itu. Kami hanya bercakap-cakap mengenai acara teater yang akan diadakan di
gedung Aula IAIN Serang, karena kebetulan cowok berkacamata yang bekerja satu
pabrik dengan ku itu juga kuliah di Bina Bangsa. Dia mahasiswa manajemen
semester dua. Dia juga akan menghadiri acara nonton teater bareng nanti malam.
Akhirnya
sampai juga di depan Modern Cikande. Aku turun dari motornya dan tak lupa
mengucapkan terimakasih atas petolongannya. Cowok berkacamata itu tersenyum
kemudian berlalu. Sementara aku bergegas menyebrang jalan kemudian melanjutkan perjalanan pulang dengan
jasa angkutan umum warna merah jurusan Serang-Balaraja. Sampai di pertigaan
Cikande Ambon, aku melanjutkan naik angkot putih menuju Cikande Permai.
Pukul
17.00, sampai juga di rumah bu lik. Aku segera mandi, sholat dan siap-siap
meluncur ke Serang. Tak terasa tiga puluh menit telah berlalu. Awan di langit
terlihat begitu gelap, hitam begumpalan. Angin sore terasa dingin menusuk
kulit. Pukul 17.30, Tak peduli perut
terasa lapar, tak peduli kepala terasa pusing, aku bergegas keluar rumah dan
dengan terburu-buru naik angkot putih. Begitu duduk, aku sgera mengabari
temanku bahwa aku sedang di perjalanan dan menyampaikan maaf karena nggak bisa
tepat waktu seperti yang kita sepakati sebelumnya.
Angkot
putih berhenti pas di pertigaan Cikande Ambon. Saat itu juga hujan turun dengan
derasnya. Dengan berlari-lari kecil aku berpindah dari angkot putih ke angkot
merah. Angkot merah melaju dengan diiringi derasnya irama hujan. Tepat di
pangkalan ojek Ra`ap, aku meminta mamang angkot berhenti sebentar, temanku
sudah lama menuggu di tempat itu.
Benar-benar
kunikmati sore hari ini, hujan deras, dingin dan juga pusing. Dan yang bikin pusing lagi macet total di depan
Pabrik Indah Kiat. Bener-bener dibikin galau dengan keadaan ini. Lima belas
menit berlalu, aku dan temanku hanya diam di angkot yang sama sekali nggak
bergerak karena macet. Akhirnya aku dan temanku memutuskan untuk turun dan
berjalan kaki seperti yang dilakukan penumpang-penumpang lain. Setelah berjalan
kaki mungkin sekitar lima belas atau dua puluh meter, kami melanjutkan
perjalanan dengan angkot merah lagi.
Pukul
19.30, kami sampai di terminal Pakupatan Serang dan melanjutkan perjalanan
dengan angkot hijau. Teater dimulai pukul 19.30, aku pikir tidak masalah telat
beberapa menit. Tetapi ternyata tidak seperti yang kami bayangkan, angkot hijau
yang kami tumpangi dialihkan ke jalur lain oleh polisi yang bertugas
dikarenakan adanya banjir dan macet di jalan utama. Sebagai seorang pendatang
di kota Serang ini, aku belum begitu hafal tempat-tempat di sini. Aku dan
temanku hanya diam mengikuti arah angkot.
Aku
tidak tahu tempat ini, yang aku tahu angkot hijau yang kami tumpangi saat ini berhenti tepat di perempatan lampu
merah, dekat Carefour. Sopir angkot menurunkan kami di tepat ini dan berlalu
pergi. Kami bingung. Di mana gedung IAIN?
Pukul
20.30, selama satu jam kami bingung mencari gedung IAIN. Dan ternyata di sini
gedung IAIN, hanya beberapa meter dari perempatan lampu merah, tetapi kami
menghabiskan waktu satu jam untuk sampai di gedung IAIN ini? Astagfirullahaladzim,
apa ini? Apa kami terlalu bodoh? Kami rasa tidak. Kami sudah berusaha
menenyakan tempat ini kepada orang yang kami temui di jalan. “Institut Agama
Islam Negri” sejenak kupandangi tulisan
itu. Aku nggak habis pikir kenapa aku baru melihatnya? Padahal aku sudah
melewati tempat ini.
“Bukannya
kamu sudah tahu tempat ini? Kenapa bisa nyasar?” Tanya temanku setelah kami
memasuki Aula.
“Entahlah.” Jawabku tak bersemangat
sambil mencari tempat duduk. Aku tidak tahu sudah berapa lama acara teater berlangsung. Aku juga tidak tahu apa yang
sedang diceritakan dalam teater tersebut. Aku bahkan tak peduli dengan teater
tersebut. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Kepalaku pusing karena kehujanan.
Aku berusaha menikmati apa yang ada di depanku sekarang. Menyaksikan teater meskipun tak tahu bagaimana jalan
ceritanya.
Aku
melihat penghianatan dalam kisah yang diceritakan oleh pemain-pemain teater.
Penghianatan seorang kapten terhadap prajuritnya. Penghianatan seorang istri
terhadap suaminya(prajurit tentara). Dan teater itu berakhir dengan matinya
seorang perempuan yang bernama Rika yang dibunuh oleh seorang prajurit tentara
selaku suaminya sendiri.
Teater
berakhir. Aku dan teman-teman beranjak dari tempat duduk. Kami pulang
bersama-sama dengan naik angkutan umum. Selama di perjalanan aku hanya diam
menikmati suasana. Singkat saja, mungkin sekitar pukul 23.05 aku sampai di
rumah.
Malam ini benar-benar
“WAAAWWW.” Luar biasa capek. Aku berdo`a semoga tuhan menganugerahkan mimpi
yang indah untukku. Mimpi yang mampu menghilangkan rasa gelisah di hati dan
pikiranku. Mimpi yang mampu mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan disaat aku
terbangun. Amin.
Akhirnya ku ucapkan “Goodnight”
untuk semuanya.