Putri Tamaela
Ahir-ahir
ini sering ku lewati hari-hariku dengan nya. Aku merasa nyaman bersamanya,
maela gadis yang ku kenal tiga minggu yang lalu di pertigaan jalan kober.
Saat
itu pagi-pagi sekali sekitar jam lima lebih seperempat, aku sedang olahraga di pertigaku
menghampirinya dan berkenalan dengannya. Setelah pertemuan itu aku dan maela
menjadi akrab.
Tak
terasa sudah tiga minggu aku mengenal maela. Itu artinya satu minggu lagi aku
harus pulang ke Jakarta. Aku datang ke desa ini bersama ditto dan teman-teman
untuk melaksanakan tugas kuliah yaitu mengamati keadaan social budaya di desa
ini.kami menginap di rumah pak lurah.
Maela,
dia cantik dn menawan, hatiku tergetar saat melihat senyumnya. Senyuman yang
indah dari bibirnya yang manis.
Saat
mentari memancarkan cahayanya, saat itulah kebahagiaan menghampiriku.
Kebahagiaan ketika aku bersama maela.
“Pagi” dengan semangat maela menyapaku.
“Pagi
juga” aku melihat matanya berbinar-binar, senyumnya begitu mengagumkan. Maela
tahukah kau dengan perasaan ini? Baru kali ini aku menyadari rasa yang ada di
hati ini semakin menyudutkan. Semakin membuat aku tak berdaya mengusai pikiranku. Maela, aku tak pernah berniat untuk memintamu untuk menjadi pacarku. Aku hanya nyaman dengan keadaan ini.
Kuperhatikan
tingkahnya yang selalu ceria. Saat ia berjingkat, saat ia meloncat seperti
kanak-kanak. Semua yang ada pada dirinya membuat aku semangat menghadapi hidup
ini.
Kuperhatikan
tingkahnya yang dselalu ceria. Ku lihat kerlingan matanya yang menggoda.
“Hei…kamu kenapa lihatin aku terus? Aku cantik yah?” maela mengagetkan aku.
Membuat lamunanku buyar. Ia merasa diperhatikan olehku. Matanya yang selalu
meneduhkan memelototiku. Membuat aku tersenyum tak lucu. “Siapa bilang kamu
cantik?” kataku mencoba menggoda.
Kulihat ia cemberut.“ Ngambek yah kok cemberut gitu?” mencolek dagunya. “Ngak,
ngapai aku ngambek seperti anak kecil saja” kata maela membela diri.
“Maela
manis kamu memang cantik.”
“Sudah
deh nggak usah puji-puji aku.”
“Memangnnya
kenapa? Nggak suka dipuji sama orang lain? Kamu memang cantik maela.”
“Apaan sih” maela tersenyum sambil menabok
pundakku.
“Wah…tambah
cantik lagi kalau tersenyum.”
“Kamu
bisa aja membuat aku tersenyum” hampir saja maela menabok pundakku lagi, untung
saja aku segera berlari. Maela mengejarku. Akhirnya kami bermain kejar-kejaran.
Aku sangat bahagia saat-saat seperti ini.
“Ga,
Ega” tiba-tiba seseorang memanggilku. Ternyata Dito “ ada apa to?”
“Ngapain
kamu berlari ke sana ke mari sendirian? Kayak nggak ada kerjaan lain saja. Ntar
disangka orang gila baru tahu rasa.”
“Sembarangan
kalau ngomong. Aku sedang bermain sama maela.”
“Maela
siapa? Perasaan aku baru dengar.”
“Si
Mae. Aku kan sudah pernah cerita sama kamu.”
“Terus
Mae nya mana?”
“Itu”
aku menunjuk Maela. Aku kesal sama Dito, Maela sedang duduk di gubuk kecil itu
tetapi Dito pura-pura tidak melihat.
“Mana?”
Tanya Dito lagi.
“Itu.
Masa kamu nggak lihat sih? Maela sedang duduk di gubuk kecil itu. Maela sini!”
maela hanya tersenyum kepadaku.
“Mana?
Nggak ada” ditto benar-benar membuat aku naik darah.
“Dito
jangan buat aku kesal, pura-pura nggak lihat segala lagi.”
“Ya
ampun Ega aku serius. Yang ada kamu yang bikin aku kesal. Di gubuk kecil itu
nggak ada siapa-siapa.”
“Ah
kamu jangan bercanda. Maela sedang duduk di gubbuk kecil itu, dari tadi dia
senyum-senyum ngelihatin kita. Kamu jangan pura-pura nggak melihatnya nanti dia
tersinggung.” Aku memandang kearah Maela, dia tersenyum kepadaku.
“Ga,
kamu jangan bercanda di gubuk kecil itu nggak ada siapa-siapa.” Dito sedikit
emosi kepadaku. Aku heran di buatnya. mengapa dia tak mau mengakui kalau Maela
sedang duduk di gubuk kecil itu? Tak biasanya Dito bercanda sampai kelewatan
kayak gini. Aku menengok ke gubuk kecil itu, hah Maela ke mana? Kenapa dia
tiba-tiba menghilang?
“Dito
Maela pergi ke mana? Kenapa dia tidak ada di gubuk kecil itu?”
“Kamu kenapa sih bercanda terus dari tadi? Nggak lucu tahu.” Ditto tertawa
terpingkal-pingkal, sementara aku sangat kebingungan.
“Aku
serius. Dari tadi kamu menghadap ke gubuk kecil itu, kamu tahu Maela pergi ke
mana?” aku benar-benar nggak tahu kenapa Maela pergi.
“Sudah
bercandanya? Nggak lucu tahu nggak sih. Mendingan kita pulang sudah laper nih
belum sarapan.” Aku tak pedulikan ucapan Dito. Aku masih memikirkan maela.
Maela kamu ke mana? Mengapa kau menghilang begitu saja? Apa yang sebenarnya
terjadi.
“Kamu
kenapa Ga?” Dito tampak heran.
“Aku
masih memikirkan Maela.” Jawabku dengan
lemah.
“Ya
ampun Ega. Aku harus bilang berapa kali supaya kamu percaya dengan ucapanku.
Demi Allah aku nggak melihat siapa-siapa di gubuk kecil itu.”
“Tapi
Maela tadi di situ.”
“Sejak
kamu cerita tentang Maela aku belum pernah melihat kamu bersama Maela, padahal
kamu bilang setiap hari kalian bermain bersama.”
“Setiap
hari Aku memang bersama Maela. Aku sudah lama berteman dengannya, sudah hampir
satu bulan, to.” Ditto hanya mengernyitkan dahinya, dia geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba
terdengar suara tangisan seorang perempuan. Sepertinya aku kenal dengan suara
itu, suara yang taka sing di telingaku. Tetapi suara siapa?
“Ga,
siapa sih menangis. Suaranya keras sekali.”
“Mana
aku tahu. Kayaknya suaranya dari sana.” Aku menunjuk ke arah sumber suara.
“Hah…kuburan?”
ditto Nampak terkejut.
“Ke
sana yuk!”
“Yang
benar saja Ga? Nggak ah.” Ditto hampir saja pergi tetapi aku segera menarik
tangannya “Ayo nggak apa-apa.”
Aku
dan Dito berjalan menuju kuburan yang berada di seberang gubuk kecil tempatku
biasa bermain dengan Maela. Dengan perlahan kami memasuki kuburan.
“Ga,
pulang saja yuk!”
“Ntar
dulu, aku penasaran siapa pemilik suara tangisan ini.”
Kami
berjalan semakin ke tengah. Suara tangisan itu tiba-tiba terhenti. Aku merasa
gemetar dan gelisah.”Ga, kenapa suaranya menghilang?” bisik Dito dengan suara
gemetar.
“Entahlah.”
“Pulang
yuk! Perasaanku tidak enak nih.”
“Aaaakh….tiba-tiba
saja kakiku terpeleset. Aku terjatuh. Ditto juga ikut terjatuh karena tertarik
oleh tanganku. Akh…pantatku terasa sakit.
“Aduh
kakiku sakit banget Ga.” Dito mengeluh.
“Aku
juga sakit.”
“Ga,
lihat itu.” ditto menunjuk sebuah batu nisan di hadapan kami. Sementara tangan kirinya meremas pundakku.
Aku
sangat terkejut tatkala melihat sebuah batu nisan di hadapanku. Batu nisan itu
bertuliskan : Putri Tamaela, lahir 25 april 1998, wafat 11 januari 2010. Jadi
putri tamaela yang selama ini aku kenal dia sudah tiada. Kenapa bisa begini?
Aku sangat takut dan gemetar.