Udara dingin mencekam, pohon-pohon bergoyang diterjang
angin. Daun-daun lemas berjatuhan. Senja sore semakin terseret garis-garis
hitam menandakan gelap akan segera datang. Aku merasa sudah terbiasa dengan
suasana hutan dan semak yang menambah kengerian sepi. Hanya suara-suara binatang yang saling bersautan. Tiba-tiba segerombolan laki-laki dengan tubuh besar bermuncukan dari balik pepohonan. Masing-masing dari mereka memegang pedang yang dihunuskan ke depan. Aku segera berjaga-jaga. Mengambil sebilah pedang melengkung yang tersemat di di pinggang sebelah kiriku.
Rabu, 28 Februari 2018
Sabtu, 24 Februari 2018
Laki-laki Misterius dan Seekor Kuda Putih
Aku merasa pernah berada di tempat
ini, entah kapan. Gemericik air yang bening dalam aliran sungai yang berada
jauh di bawah tebing, pohon-pohon dengan daun hijau yang teramat rimbun. Juga seseorang
dengan pakaian serba putih. Ia seperti seseorang yang misterius yang muncul tiap
kali aku berada dekat dengan kematian. Seperti dongeng, entah dari mana ia
datang. Sesosok laki-laki dengan pakaian serba putih itu selalu saja
menyelamatkanku dari bahaya.
Itu
adalah sederat cerita yang tersimpan bertahun-tahun, mungkin tujuh atau delapan
tahun yang lalu. Cerita yang tak masuk akal tetapi nyata dalam hidupku. Mimpi,
hanya sederetan cerita yang aku dapatkan dari mimpi. Masih terasa hingga kini. Bahkan
cerita-cerita itu terkadang muncul kembali hingga kini, seolah drama yang
berepisode.
Suatu
waktu aku merasa tak tahu hidup dalam kondisi yang seperti apa. Aku merasa
hidup di masa lampau tetapi aku mengingat dengan jelas aku hidup dalam dunia
teknologi yang sudah maju dimana manusia disibukan dengan gadget. Ketika itu
ada banyak pertanyaan melayang-layang dalam pikiranku. Tak ku temukan adanya
jawaban, aku merasa hidup di masa lampau.
Gemericik sungai itu sangat dekat
aku rasakan. Hembusan angin yang dingin menerbangkan daun-daun yang telah tua
dan menguning. Pohon-pohon berdiri kokoh di atas tanah. Akarnya menacap kuat
menyeruak ke dalam tanah. Aku merasa nafasku terasa berat. Aku tak bisa
menggerakkan tubuhku. Air sungai yang dingin itu hendak menenggelamkan tubuhku. Aku merasa
dingin yang menusuk, tak ada tenaga. Air sungai yang dingin itu semakin
membuatku tak berdaya. Sesosok laki-laki dengan pakaian serba putih itu
membayang di benakku ditengah kepayahanku melawan air sungai yang semakin
mematikan. Aku menungu kehadirannya. Masih aku dengar sayup-sayup suara
di atas sana. Gelak tawa orang-orang di atas sana mendarat di telingaku. Aku melihat
kebahagian mereka atas kepayahanku. Tak ada satupun orang yang aku kenali, yang
aku tahu mereka menginginkan kematianku
Sebuah
peristiwa yang menakutkan sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu. Sesuatu yang
tidak masuk akal tetapi nyata, masih ku ingat hingga kini. Aku bertanya-tanya
apakah ini kelanjutan cerita dari sesosok laki-laki misterius itu? Aku sangat
mengharapkan kehadirannya ketika sungai menenggelamkanku namun ia tak kunjung
datang. Ketika itu beberapa orang mengejarku. Aku berlari sekencang-kencang nya.
Aku terjebak pada sebuah tebing, lalu aku menjatuhkan diri ke Sungai yang tepat
berada di bawah tebing. Hanya itu yang aku ingat, hingga akhirnya aku terbangun
dengan nafas yang sangat berat. Dingin air sungai itu masih terasa. Bayang-bayang
sesosok laki-laki berpakaian serba putih itu masih berkeliaran di benakku. Sesosok
laki-laki berpakaian putih dengan kuda putihnya yang gagah. Di pingang sebelah
kanannya tersemat sebuah pedang.
Laki-laki
itu telah lama mengisi dunia bawah sadarku. Aku tak bisa menggambarkan dengan
jelas bagaimana garis wajahnya. Aku hanya tahu dia mempunyai mata yang sendu
dan tenang. Ia selalu ada untuk menolongku. Tak pernah satu kata pun keluar
dari mulutnya. Ia selalu berjarak namun terjangkau dalam penglihatanku.
To Be Continue
Sabtu, 17 Februari 2018
Yang Masih Dirahasiakan
Bagaimana aku kabarkan tentang rinduku
Sedang keberadaanmu aku tak tahu
Bagaimana aku menyebut mu dalam do`a
Sedang namamu rahasia
Aku mencintaimu sangat besar
Meski kau berada dalam kerahasiaan
Aku merinduimu sangat besar
Rindu yang berujung dalam barisan do`a
Aku memimpikan kita memandang senja bersama
Namun senja mempunyai batas seperti halnya hidup kemudian mati
Aku memimpikan kita bersama-sama menyaksikan awan putih pada birunya langit
Meski ia bisa dengan mudah menghitam
Aku memimpikan menikmati wangi petrichor bersama,
Aku memimpikan kita bersama-sama menikmati rintik hujan
Membiarkan bulir bening itu menerpa wajah
Lebih dari itu,
Aku memimpikan kita berjalan bersama-sama menitih jalan ridho-Nya
menuju Cinta-Nya
Engkau yang masih dirahasiakan,
Tetaplah terjaga sebagaimana engkau menginginkan yang terjaga.
Sedang keberadaanmu aku tak tahu
Bagaimana aku menyebut mu dalam do`a
Sedang namamu rahasia
Aku mencintaimu sangat besar
Meski kau berada dalam kerahasiaan
Aku merinduimu sangat besar
Rindu yang berujung dalam barisan do`a
Aku memimpikan kita memandang senja bersama
Namun senja mempunyai batas seperti halnya hidup kemudian mati
Aku memimpikan kita bersama-sama menyaksikan awan putih pada birunya langit
Meski ia bisa dengan mudah menghitam
Aku memimpikan menikmati wangi petrichor bersama,
Aku memimpikan kita bersama-sama menikmati rintik hujan
Membiarkan bulir bening itu menerpa wajah
Lebih dari itu,
Aku memimpikan kita berjalan bersama-sama menitih jalan ridho-Nya
menuju Cinta-Nya
Engkau yang masih dirahasiakan,
Tetaplah terjaga sebagaimana engkau menginginkan yang terjaga.
Selasa, 13 Februari 2018
No masks covering my life.
Bukan
berlebihan, aku sudah terbiasa berdialog dengan diri sendiri mengenai hal
apapun. Hal yang kecil sekalipun. Pikiranku selalu dipenuhi berbagai macam hal.
Entah tentang kondisi hati yang naik-turu. Entah tentang orang-orang yang aku
temui. Entah tentang pekerjaan. Entah tentang keluarga, teman, sahabat.
Mungkin
akan menjadi sebuah tulisan yang kompleks jika aku paparkan secara rinci satu
per satu apa-apa saja yang bersarang di pikiran. Seperti pagi ini, ada banyak
kenangan yang muncul di pikiran. Kenangan masa-masa masih memakai seragam putih
abu-abu. Kenangan menjadi anak sekolah. Ingin aku ceritakan disini. Namun bukan
sesuatu yang menyedihkan ataupun menyakitkan yang ingin aku bahas. Aku hanya
ingin bercerita tentang sesuatu yang membahagiakan selama menjadi anak sekolah.
Buku,
benda yang cukup membuat aku bahagia yang mengisi hari-hariku di masa sekolah
dulu, pun sampai saat ini benda itu masih menjadi benda kesukaan yang mampu
mengusir kesedihan. Seandainya aku tetap menjadikan buku sebagai teman setia
selepas kelulusan ku, mungkin aku bisa membuat tulisan-tulisan yang
berkualitas. Aku menyadari aku meninggalkannya begitu lama. Berbagai macam
pengandaian muncul di benak. Seandainya aku bisa kembali di masa sekolah,
seandainya aku begini… seandainya aku seperti ini…. Astagfirullah, ternyata
banyak penyesalan dibalik pengandaian itu.
Aku
pernah membaca sebuah artikel online, entah disitus apa aku tak ingat, artikel
itu menuliskan bahwa berandai-andai adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah.
Kok bisa? Artikel tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang telah terjadi
adalah sudah kehendak Allah. Berandai-andai adalah sebuah tindakan yang melawan
kehendak Allah. Ya Allah hanya itu yang aku ingat, sumber nya juga dari artikel
bukan dari kajian di majlis ilmu. Sedih,
betapa sangat miskinnya aku akan ilmu.
Well,
karena niat awal adalah bercerita hal yang menyenangkan maka akan lebih baik
jika aku kesampingkan semua kekurangan-kekurangan yang ada dalam diriku. Balik
lagi ke buku karena buku adalah hal yang menyenangkan sejak dulu. Tentu saja
bukan buku paket fisika, kimia,
matematika ataupun biologi, sekumpulan buku-buku itu sudah cukup
memusingkan kala itu.
Majalah
horizon, ia menjadi teman setia hari-hari ku. Selalu membuat gaduh pikiran
dalam kesendirian di sudut perpus. Sebuah majalah sastra Indonesia yang
diterbitkan pertama kali pada bulan juli tahun 1966. Sebuah majalah sastra yang
memuat sajak-sajak, puisi, esai, kritik dan juga cerita pendek. Majalah
tersebut bisa aku pinjam dari perpus sekolah dengan sesuka hati, yang lebih
mengasyikan lagi selau ada edisi terbaru.
Tuyet,
sebuah novel dengan setting perang Vietnam yang menceritakan seorang wanita
yang berjuang membebaskan ayahnya yang di tawan oleh tentara musuh. Hanya itu
yang aku ingat.
Buku
sastra Indonesia, aku tak ingat pasti judul yang tertulis dalam buku itu. Yang
aku ingat hanya sebuah buku yang sangat
tebal berwarna coklat yang isinya membahas sejarah kesusasteraan
Indonesia, tokoh-tokoh sastra serta perkembangan sastra. Entah pada pembahasan
yang mana ada beberapa nama yang aku ingat dari buku tersebut, diantaranya Sanusi
pane, Armijn Pane, Chairil Anwar, Asrul Sani, Ws.Rendra, Pramudya Anantatoer, Sutan
Takdir Alisjahbana, Rustam Efendi, Amir Hamzah, dan juga Haji Karim Malik
Amrullah atau biasa disebut Hamka.
Agustinus
Wibowo, pertama mendengar nama itu kalo tidak salah di suatu program di radio
yang tengah membahas biografinya dan
juga buku nya yang berjudul “Selimut Debu.” Semenjak itu aku mulai mencari tahu
tentang nya karena aku merasa tertarik dengan bukunya. Bermodal handphone nokia
jadul berwarna hitam yang lumayan tebal, aku mencari tahu tentang nya via
internet. Ketika itu aku masih anak sekolah dimana letak sekolah jauh dari
kota, aku merasa kesulitan untuk mencari buku itu. Mungkin juga karena faktor ketidaktahuan
dengan media social yang membuat aku merasa kesulitan mencari buku itu. Namun
nyatanya sampai saat ini aku belum membelinya padahal media social sudah
mendunia.
Aku
menyadari aku melupakan buku setelah kelulusanku. Aku merasa bukan menjadi diri
sendiri ketika itu. Entah setan macam apa yang membuatku terjun dalam dunia
pacaran ketika itu. Malu, tak ingin aku ingat sama sekali. Menjadi penyesalan
terbesar dalam hidupku, namun begitu kenyataannya. Berdamai serta memaafkan
diri sendiri membuat aku bangkit dan kembali menjadi diri sendiri. No masks covering my life. Aku merasa
lebih baik dengan jatuh cinta lagi dengan buku. Selimut Debu, masih menjadi buku yang aku inginkan.
Price an Aple,
sebuah novel terjemah entah karya siapa aku sudah lupa. Aku suka isi dari novel
tersebut, terkadang ingin membacanya lagi namun tidak tahu diman nemuin buku
itu. Aku suka karakter toby pada novel itu. Aku suka bagaimana sebuah apel
mampu merubah hidup seseorang. Aku suka dimana sebuah kebaikan sederhan diingat
sepanjang hidup seorang toby. Aku suka dimana seseorang mengingat dan membayar
pertolongan kecil dalam hidupnya.
Aku
rasa sudah cukup kilas balik masa lalu yang membahas tentang buku di atas. Bukan
sekedar buku untuk dibaca, namun seberapa jauh aku meninggalkan nya dan menjadi
orang lain seakan aku hidup dengan sebuah topeng. Yang
terpenting aku sudah terlahir kembali menjadi diri sendiri dan tak ada topeng
yang menutupi hidupku. No masks covering my life.
Jumat, 02 Februari 2018
Baby Ilham
Hidrosefalus (hydrocephalus), berasal dari kata
hydro yang berarti air dan cepalus yang berarti kepala. Hidrosefalus adalah
kondisi penumpukan cairan di dalam otak yang mengakibatkan meningkatnya tekanan
pada otak.
Awal desember aku mulai mencari tahu tentang apa itu hidrosefalus. Bermula dari membaca
sebuah postingan tentang seorang anak bernama salsa yang menderita hydrosefalus
dari umur dua bulan. Informasi aku dapat dari sebuah akun di instagram. Hampir setiap
hari akun tersebut aktif membuat story dengan informasi yang bermanfaat. Mungkin
sudah ada puluhan bayi yang sudah dibantu dengan donasi melalui akun tersebut,
termasuk baby salsa. Pun sampai saat ini aku masih aktif menengok akun
tersebut sekedar untuk membaca postingan-postingan tentang bayik. Banyak ilmu
baru yang baru aku mengerti.
Setelah sebelumnya
hanya melihat di dunia maya tentang baby penderita hydrosefalus, kini aku
melihatnya secara langsung, nyata. Dia lah baby ilham, balita berumur tiga
tahun tujuh bulan yang menderita hidrosefalus.
Hari ini Ibu mu menceritakan kondisimu sejak awal sebelum kau terlahir di dunia. Ia mengatakan bahwa kau sudah didiagnosa hydrochepalus sejak masih dalam kandungan. Ibu mu juga bercerita betapa pintar dan aktif nya kamu di umur satu tahun meskipun kondisi kepala membesar tak sesuai dengan postur tubuh. Kau merespon dengan aktif apa-apa saja disekitarmu.
Kini mata kecil itu tak
lagi melihat apa-apa yang ada dihadapannya. Tubuhnya hanya pasrah, tergeletak.
Rengekan dan tangisan berselang bergantian mengekspresikan rasa sakit yang ia
rasa. Namun, lautan kesabaran ibu bapaknya tiada bertepi. Meski diakui dan tak bisa
dipungkiri bahwa mengeluh adalah hal yang setiap hari mereka lakukan, namun
kesabaran dan kasih sayang kepada anak keduanya yang kini tengah berjuang
melawan hidrosefalus lebihlah besar ketimbang keluh yang menerpa hampir setiap
hari.
Baby Ilham,
hidrosefalus membuatmu berbeda dengan anak-anak kebanyakan, kau special. Kau
tahu banyak orang-orang yang menyayangimu, kau pun mempunyai orang tua yang
luar biasa dengan kesabaran laksana lautan tanpa tepi, dengan kasih sayang
tiada berbatas.
Hari ini, Allah
kasih kesempatan untuk menemui mu secara langsung. Rasanya jauh sangat berbeda
ketika hanya melihatmu melalui layar handphone. Benar-benar berbeda. Entah
darimana berasal hati ini benar-benar merasa sakit. Sekedar untuk mengambil
fotomu yang tengah terbaring saja rasanya tak sanggup. Keinginan untuk memegang
tangan mungilmu itu pun tertahan, aku takut ada bagian tubuhmu yang tanpa
sengaja tersakiti.
Baby ilham, darah
tak menjadikan kita bersaudara. Tetapi rasa peduli yang membuat kita
bersaudara. Semoga Allah memberi kesembuhan untuk mu.
Rabu, 31 Januari 2018 kunjungan ke Baby Ilham bersama komunitas Selipin Sedekah.
Dear #SelipinSedekah thanks a lot for accepting me to be a part of this community. I am so happy.
Langganan:
Postingan (Atom)