Bukan
berlebihan, aku sudah terbiasa berdialog dengan diri sendiri mengenai hal
apapun. Hal yang kecil sekalipun. Pikiranku selalu dipenuhi berbagai macam hal.
Entah tentang kondisi hati yang naik-turu. Entah tentang orang-orang yang aku
temui. Entah tentang pekerjaan. Entah tentang keluarga, teman, sahabat.
Mungkin
akan menjadi sebuah tulisan yang kompleks jika aku paparkan secara rinci satu
per satu apa-apa saja yang bersarang di pikiran. Seperti pagi ini, ada banyak
kenangan yang muncul di pikiran. Kenangan masa-masa masih memakai seragam putih
abu-abu. Kenangan menjadi anak sekolah. Ingin aku ceritakan disini. Namun bukan
sesuatu yang menyedihkan ataupun menyakitkan yang ingin aku bahas. Aku hanya
ingin bercerita tentang sesuatu yang membahagiakan selama menjadi anak sekolah.
Buku,
benda yang cukup membuat aku bahagia yang mengisi hari-hariku di masa sekolah
dulu, pun sampai saat ini benda itu masih menjadi benda kesukaan yang mampu
mengusir kesedihan. Seandainya aku tetap menjadikan buku sebagai teman setia
selepas kelulusan ku, mungkin aku bisa membuat tulisan-tulisan yang
berkualitas. Aku menyadari aku meninggalkannya begitu lama. Berbagai macam
pengandaian muncul di benak. Seandainya aku bisa kembali di masa sekolah,
seandainya aku begini… seandainya aku seperti ini…. Astagfirullah, ternyata
banyak penyesalan dibalik pengandaian itu.
Aku
pernah membaca sebuah artikel online, entah disitus apa aku tak ingat, artikel
itu menuliskan bahwa berandai-andai adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah.
Kok bisa? Artikel tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang telah terjadi
adalah sudah kehendak Allah. Berandai-andai adalah sebuah tindakan yang melawan
kehendak Allah. Ya Allah hanya itu yang aku ingat, sumber nya juga dari artikel
bukan dari kajian di majlis ilmu. Sedih,
betapa sangat miskinnya aku akan ilmu.
Well,
karena niat awal adalah bercerita hal yang menyenangkan maka akan lebih baik
jika aku kesampingkan semua kekurangan-kekurangan yang ada dalam diriku. Balik
lagi ke buku karena buku adalah hal yang menyenangkan sejak dulu. Tentu saja
bukan buku paket fisika, kimia,
matematika ataupun biologi, sekumpulan buku-buku itu sudah cukup
memusingkan kala itu.
Majalah
horizon, ia menjadi teman setia hari-hari ku. Selalu membuat gaduh pikiran
dalam kesendirian di sudut perpus. Sebuah majalah sastra Indonesia yang
diterbitkan pertama kali pada bulan juli tahun 1966. Sebuah majalah sastra yang
memuat sajak-sajak, puisi, esai, kritik dan juga cerita pendek. Majalah
tersebut bisa aku pinjam dari perpus sekolah dengan sesuka hati, yang lebih
mengasyikan lagi selau ada edisi terbaru.
Tuyet,
sebuah novel dengan setting perang Vietnam yang menceritakan seorang wanita
yang berjuang membebaskan ayahnya yang di tawan oleh tentara musuh. Hanya itu
yang aku ingat.
Buku
sastra Indonesia, aku tak ingat pasti judul yang tertulis dalam buku itu. Yang
aku ingat hanya sebuah buku yang sangat
tebal berwarna coklat yang isinya membahas sejarah kesusasteraan
Indonesia, tokoh-tokoh sastra serta perkembangan sastra. Entah pada pembahasan
yang mana ada beberapa nama yang aku ingat dari buku tersebut, diantaranya Sanusi
pane, Armijn Pane, Chairil Anwar, Asrul Sani, Ws.Rendra, Pramudya Anantatoer, Sutan
Takdir Alisjahbana, Rustam Efendi, Amir Hamzah, dan juga Haji Karim Malik
Amrullah atau biasa disebut Hamka.
Agustinus
Wibowo, pertama mendengar nama itu kalo tidak salah di suatu program di radio
yang tengah membahas biografinya dan
juga buku nya yang berjudul “Selimut Debu.” Semenjak itu aku mulai mencari tahu
tentang nya karena aku merasa tertarik dengan bukunya. Bermodal handphone nokia
jadul berwarna hitam yang lumayan tebal, aku mencari tahu tentang nya via
internet. Ketika itu aku masih anak sekolah dimana letak sekolah jauh dari
kota, aku merasa kesulitan untuk mencari buku itu. Mungkin juga karena faktor ketidaktahuan
dengan media social yang membuat aku merasa kesulitan mencari buku itu. Namun
nyatanya sampai saat ini aku belum membelinya padahal media social sudah
mendunia.
Aku
menyadari aku melupakan buku setelah kelulusanku. Aku merasa bukan menjadi diri
sendiri ketika itu. Entah setan macam apa yang membuatku terjun dalam dunia
pacaran ketika itu. Malu, tak ingin aku ingat sama sekali. Menjadi penyesalan
terbesar dalam hidupku, namun begitu kenyataannya. Berdamai serta memaafkan
diri sendiri membuat aku bangkit dan kembali menjadi diri sendiri. No masks covering my life. Aku merasa
lebih baik dengan jatuh cinta lagi dengan buku. Selimut Debu, masih menjadi buku yang aku inginkan.
Price an Aple,
sebuah novel terjemah entah karya siapa aku sudah lupa. Aku suka isi dari novel
tersebut, terkadang ingin membacanya lagi namun tidak tahu diman nemuin buku
itu. Aku suka karakter toby pada novel itu. Aku suka bagaimana sebuah apel
mampu merubah hidup seseorang. Aku suka dimana sebuah kebaikan sederhan diingat
sepanjang hidup seorang toby. Aku suka dimana seseorang mengingat dan membayar
pertolongan kecil dalam hidupnya.
Aku
rasa sudah cukup kilas balik masa lalu yang membahas tentang buku di atas. Bukan
sekedar buku untuk dibaca, namun seberapa jauh aku meninggalkan nya dan menjadi
orang lain seakan aku hidup dengan sebuah topeng. Yang
terpenting aku sudah terlahir kembali menjadi diri sendiri dan tak ada topeng
yang menutupi hidupku. No masks covering my life.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar