Share it

Selasa, 13 Februari 2018

No masks covering my life.


Bukan berlebihan, aku sudah terbiasa berdialog dengan diri sendiri mengenai hal apapun. Hal yang kecil sekalipun. Pikiranku selalu dipenuhi berbagai macam hal. Entah tentang kondisi hati yang naik-turu. Entah tentang orang-orang yang aku temui. Entah tentang pekerjaan. Entah tentang keluarga, teman, sahabat.

Mungkin akan menjadi sebuah tulisan yang kompleks jika aku paparkan secara rinci satu per satu apa-apa saja yang bersarang di pikiran. Seperti pagi ini, ada banyak kenangan yang muncul di pikiran. Kenangan masa-masa masih memakai seragam putih abu-abu. Kenangan menjadi anak sekolah. Ingin aku ceritakan disini. Namun bukan sesuatu yang menyedihkan ataupun menyakitkan yang ingin aku bahas. Aku hanya ingin bercerita tentang sesuatu yang membahagiakan selama menjadi anak sekolah.
 
Buku, benda yang cukup membuat aku bahagia yang mengisi hari-hariku di masa sekolah dulu, pun sampai saat ini benda itu masih menjadi benda kesukaan yang mampu mengusir kesedihan. Seandainya aku tetap menjadikan buku sebagai teman setia selepas kelulusan ku, mungkin aku bisa membuat tulisan-tulisan yang berkualitas. Aku menyadari aku meninggalkannya begitu lama. Berbagai macam pengandaian muncul di benak. Seandainya aku bisa kembali di masa sekolah, seandainya aku begini… seandainya aku seperti ini…. Astagfirullah, ternyata banyak penyesalan dibalik pengandaian itu.

Aku pernah membaca sebuah artikel online, entah disitus apa aku tak ingat, artikel itu menuliskan bahwa berandai-andai adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah. Kok bisa? Artikel tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang telah terjadi adalah sudah kehendak Allah. Berandai-andai adalah sebuah tindakan yang melawan kehendak Allah. Ya Allah hanya itu yang aku ingat, sumber nya juga dari artikel bukan dari kajian di majlis ilmu.  Sedih, betapa sangat miskinnya aku akan ilmu.
Well, karena niat awal adalah bercerita hal yang menyenangkan maka akan lebih baik jika aku kesampingkan semua kekurangan-kekurangan yang ada dalam diriku. Balik lagi ke buku karena buku adalah hal yang menyenangkan sejak dulu. Tentu saja bukan buku paket fisika, kimia,  matematika ataupun biologi, sekumpulan buku-buku itu sudah cukup memusingkan kala itu.

Majalah horizon, ia menjadi teman setia hari-hari ku. Selalu membuat gaduh pikiran dalam kesendirian di sudut perpus. Sebuah majalah sastra Indonesia yang diterbitkan pertama kali pada bulan juli tahun 1966. Sebuah majalah sastra yang memuat sajak-sajak, puisi, esai, kritik dan juga cerita pendek. Majalah tersebut bisa aku pinjam dari perpus sekolah dengan sesuka hati, yang lebih mengasyikan lagi selau ada edisi terbaru.

Tuyet, sebuah novel dengan setting perang Vietnam yang menceritakan seorang wanita yang berjuang membebaskan ayahnya yang di tawan oleh tentara musuh. Hanya itu yang aku ingat.

Buku sastra Indonesia, aku tak ingat pasti judul yang tertulis dalam buku itu. Yang aku ingat hanya sebuah buku yang sangat  tebal berwarna coklat yang isinya membahas sejarah kesusasteraan Indonesia, tokoh-tokoh sastra serta perkembangan sastra. Entah pada pembahasan yang mana ada beberapa nama yang aku ingat dari buku tersebut, diantaranya Sanusi pane, Armijn Pane, Chairil Anwar, Asrul Sani, Ws.Rendra, Pramudya Anantatoer, Sutan Takdir Alisjahbana, Rustam Efendi, Amir Hamzah, dan juga Haji Karim Malik Amrullah atau biasa disebut Hamka.

Agustinus Wibowo, pertama mendengar nama itu kalo tidak salah di suatu program di radio yang tengah membahas  biografinya dan juga buku nya yang berjudul “Selimut Debu.” Semenjak itu aku mulai mencari tahu tentang nya karena aku merasa tertarik dengan bukunya. Bermodal handphone nokia jadul berwarna hitam yang lumayan tebal, aku mencari tahu tentang nya via internet. Ketika itu aku masih anak sekolah dimana letak sekolah jauh dari kota, aku merasa kesulitan untuk mencari buku itu. Mungkin juga karena faktor ketidaktahuan dengan media social yang membuat aku merasa kesulitan mencari buku itu. Namun nyatanya sampai saat ini aku belum membelinya padahal media social sudah mendunia.

Aku menyadari aku melupakan buku setelah kelulusanku. Aku merasa bukan menjadi diri sendiri ketika itu. Entah setan macam apa yang membuatku terjun dalam dunia pacaran ketika itu. Malu, tak ingin aku ingat sama sekali. Menjadi penyesalan terbesar dalam hidupku, namun begitu kenyataannya. Berdamai serta memaafkan diri sendiri membuat aku bangkit dan kembali menjadi diri sendiri. No masks covering my life. Aku merasa lebih baik dengan jatuh cinta lagi dengan buku. Selimut Debu, masih menjadi buku yang aku inginkan.

Price an Aple, sebuah novel terjemah entah karya siapa aku sudah lupa. Aku suka isi dari novel tersebut, terkadang ingin membacanya lagi namun tidak tahu diman nemuin buku itu. Aku suka karakter toby pada novel itu. Aku suka bagaimana sebuah apel mampu merubah hidup seseorang. Aku suka dimana sebuah kebaikan sederhan diingat sepanjang hidup seorang toby. Aku suka dimana seseorang mengingat dan membayar pertolongan kecil dalam hidupnya.

Aku rasa sudah cukup kilas balik masa lalu yang membahas tentang buku di atas. Bukan sekedar buku untuk dibaca, namun seberapa jauh aku meninggalkan nya dan menjadi orang lain seakan aku hidup dengan sebuah topeng. Yang terpenting aku sudah terlahir kembali menjadi diri sendiri dan tak ada topeng yang menutupi hidupku. No masks covering my life.
                                                                                                                                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar