Share it

Selasa, 07 Januari 2014

Benar-benar Waww

 

Pukul 15.00.  Rasa gelisah ini nggak hilang-hilang, malah semakin menjadi. Gelisah jikalau nggak dapat ijin pulang sore hari ini. Yah, meskipun tadi siang sudah ngomong kalau saya nggak bisa lembur hari ini, tapi napaknya bapak supervisor itu tidak menghiraukan.
            “Saya nggak bisa lembur hari ini. Saya mau langsung ke Serang ada tugas dari Dosen.” Dengan bergaya seperti orang sibuk yang banyak urusan, saya berusaha meminta ijin untuk pulang. Dan ternyata usahaku nggak sia-sia, supervisor botak itu mengijinkan aku pulanng.
            Pukul 16.15, saya keluar dari pabrik menuju pos satpam. Dan lagi-lagi saya merasa bingung. Jam segini mau pulang pulang sama siapa? Anak-anak yang lain masih kerja di dalam. Lembur.
            Sepuluh menit berlalu. Aku hanya bias bolak-balik nggak jelas di depan pos satpam, berharap ada seseorang yang mau pulang dan bersedia memberiku tumpangan sampai ke depan Modern Cikande.
            “Sial. Kenapa pabrik yang bisa dibilang mewah ini berada di perkampungan yang jauh dari jalan raya. Nggak ada tukang ojek ataupun kendaraan umum yang bisa saya tumpangi.” Aku menggerutu dalam hati.
“Silvi, tumben nggak lembur?” Tanya pak Umar, salah satu satpam yang selalu ramah terhadapku.
“Lagi nggak pengin lembur pak” aku menjawab sekenanya.
“Pulang sama siapa, Sil?” Tanya nya lagi.
“Nggak tahu nih. Nunggu orang yang lewat saja, pak.” jawabku sambil tersenyum, sedikit memelas.
            Tiga puluh menit berlalu. Aku masih menunggu di depan pos satpam, menanyakan di mana tempat tujuan orang-orang yang mau pulang. “Yah, abang pulang di kampung belakanng Neng. Maaf yah nggak bisa nganterin.” Kalimat-kalimat semacam itulah yang dari tadi aku dengar. Aku hanya bisa diam. Kutarik nafas dalam-dalam. “Beginikah rasanya nggak punya kendaraan sendiri? Selalu menunggu dan menunggu, tak jelas pula siapa yang aku tunggu. Gelisah.
            Nampaknya Tuhan tak tega membuat aku lama menunggu. Tuhan mengirimkan seseorang untuk memberiku tumpangan. Dari depan pos satpam aku memandangi seseorang yang sedang mengendarai motornya dari tempat parkir. Dia cowok berkacamata dengan rambut sedikit ikal menghentikan motornya tepat di hadapanku. Dengan sigap dia membuka bagasi motornya untuk diperiksa oleh satpam. Aku tersenyum “Kakak, boleh ikut sampai depan Modern?”
“Boleh.” Jawabnya ramah. Tuhan, terimakasih telah memberiku pertolongan.
            Selama diperjalanan tidak ada percakapan yang khusus antara aku dan cowok berkacamata itu. Kami hanya bercakap-cakap mengenai acara teater yang akan diadakan di gedung Aula IAIN Serang, karena kebetulan cowok berkacamata yang bekerja satu pabrik dengan ku itu juga kuliah di Bina Bangsa. Dia mahasiswa manajemen semester dua. Dia juga akan menghadiri acara nonton teater bareng nanti malam.
            Akhirnya sampai juga di depan Modern Cikande. Aku turun dari motornya dan tak lupa mengucapkan terimakasih atas petolongannya. Cowok berkacamata itu tersenyum kemudian berlalu. Sementara aku bergegas menyebrang jalan  kemudian melanjutkan perjalanan pulang dengan jasa angkutan umum warna merah jurusan Serang-Balaraja. Sampai di pertigaan Cikande Ambon, aku melanjutkan naik angkot putih menuju Cikande Permai.
            Pukul 17.00, sampai juga di rumah bu lik. Aku segera mandi, sholat dan siap-siap meluncur ke Serang. Tak terasa tiga puluh menit telah berlalu. Awan di langit terlihat begitu gelap, hitam begumpalan. Angin sore terasa dingin menusuk kulit.  Pukul 17.30, Tak peduli perut terasa lapar, tak peduli kepala terasa pusing, aku bergegas keluar rumah dan dengan terburu-buru naik angkot putih. Begitu duduk, aku sgera mengabari temanku bahwa aku sedang di perjalanan dan menyampaikan maaf karena nggak bisa tepat waktu seperti yang kita sepakati sebelumnya.
            Angkot putih berhenti pas di pertigaan Cikande Ambon. Saat itu juga hujan turun dengan derasnya. Dengan berlari-lari kecil aku berpindah dari angkot putih ke angkot merah. Angkot merah melaju dengan diiringi derasnya irama hujan. Tepat di pangkalan ojek Ra`ap, aku meminta mamang angkot berhenti sebentar, temanku sudah lama menuggu di tempat itu.
            Benar-benar kunikmati sore hari ini, hujan deras, dingin dan juga pusing. Dan  yang bikin pusing lagi macet total di depan Pabrik Indah Kiat. Bener-bener dibikin galau dengan keadaan ini. Lima belas menit berlalu, aku dan temanku hanya diam di angkot yang sama sekali nggak bergerak karena macet. Akhirnya aku dan temanku memutuskan untuk turun dan berjalan kaki seperti yang dilakukan penumpang-penumpang lain. Setelah berjalan kaki mungkin sekitar lima belas atau dua puluh meter, kami melanjutkan perjalanan dengan angkot merah lagi.
            Pukul 19.30, kami sampai di terminal Pakupatan Serang dan melanjutkan perjalanan dengan angkot hijau. Teater dimulai pukul 19.30, aku pikir tidak masalah telat beberapa menit. Tetapi ternyata tidak seperti yang kami bayangkan, angkot hijau yang kami tumpangi dialihkan ke jalur lain oleh polisi yang bertugas dikarenakan adanya banjir dan macet di jalan utama. Sebagai seorang pendatang di kota Serang ini, aku belum begitu hafal tempat-tempat di sini. Aku dan temanku hanya diam mengikuti arah angkot.
            Aku tidak tahu tempat ini, yang aku tahu angkot hijau yang kami tumpangi  saat ini berhenti tepat di perempatan lampu merah, dekat Carefour. Sopir angkot menurunkan kami di tepat ini dan berlalu pergi. Kami bingung. Di mana gedung IAIN?
            Pukul 20.30, selama satu jam kami bingung mencari gedung IAIN. Dan ternyata di sini gedung IAIN, hanya beberapa meter dari perempatan lampu merah, tetapi kami menghabiskan waktu satu jam untuk sampai di gedung IAIN ini? Astagfirullahaladzim, apa ini? Apa kami terlalu bodoh? Kami rasa tidak. Kami sudah berusaha menenyakan tempat ini kepada orang yang kami temui di jalan. “Institut Agama Islam Negri”  sejenak kupandangi tulisan itu. Aku nggak habis pikir kenapa aku baru melihatnya? Padahal aku sudah melewati tempat ini.
            “Bukannya kamu sudah tahu tempat ini? Kenapa bisa nyasar?” Tanya temanku setelah kami memasuki Aula.
“Entahlah.” Jawabku tak bersemangat sambil mencari tempat duduk. Aku tidak tahu sudah berapa lama acara teater  berlangsung. Aku juga tidak tahu apa yang sedang diceritakan dalam teater tersebut. Aku bahkan tak peduli dengan teater tersebut. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Kepalaku pusing karena kehujanan. Aku berusaha menikmati apa yang ada di depanku sekarang. Menyaksikan  teater meskipun tak tahu bagaimana jalan ceritanya.
            Aku melihat penghianatan dalam kisah yang diceritakan oleh pemain-pemain teater. Penghianatan seorang kapten terhadap prajuritnya. Penghianatan seorang istri terhadap suaminya(prajurit tentara). Dan teater itu berakhir dengan matinya seorang perempuan yang bernama Rika yang dibunuh oleh seorang prajurit tentara selaku suaminya sendiri.
            Teater berakhir. Aku dan teman-teman beranjak dari tempat duduk. Kami pulang bersama-sama dengan naik angkutan umum. Selama di perjalanan aku hanya diam menikmati suasana. Singkat saja, mungkin sekitar pukul 23.05 aku sampai di rumah.
Malam ini benar-benar “WAAAWWW.” Luar biasa capek. Aku berdo`a semoga tuhan menganugerahkan mimpi yang indah untukku. Mimpi yang mampu menghilangkan rasa gelisah di hati dan pikiranku. Mimpi yang mampu mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan disaat aku terbangun. Amin.
Akhirnya ku ucapkan “Goodnight” untuk semuanya.

2 komentar:

  1. mantap cerpen nya.
    ini rasanya curhat waktu nonton WYZCK dech.
    hehe

    BalasHapus