Share it

Rabu, 20 Desember 2017

Sekelumit Cerita "Selipin Sedekah"



Selipin Sedekah (SS), dua kata yang melekat dalam hati dan pikiran selama kurang lebih dua bulan ini. Betapa tidak ia melekat dihati,  ia membawa energi positif disetiap langkah perjalanannya. Selipin Sedekah sebuah komunitas sosial yang diprakarsai oleh anak-anak muda. Berawal dari tujuh anak muda yang punya keinginan dan tujuan bisa bermanfaat untuk sesama. Berbagi kebahagiaan walau setitik. Berbagi suka cita walau tak seluruhnya mampu menutupi kesedihan ataupun kekurangan orang lain. Selipin Sedekah, ia mempunyai mimpi yang tinggi. Mimpi untuk menjangkau dan memeluk mahluk Allah yang renta. Mimpi untuk mengukir senyum pada wajah anak-anak dimana masa kanak-kanaknya tak seperti anak-anak pada umumnya. Dialah anak-anak yatim dan piatu. Sebuah mimpi yang bisa dikatakan mulia. Bagaimana mungkin mimpi itu tak sampai menyentuh hati? Karena mimpi itulah Selipin Sedekah mulai berkembang, beberapa program dan kegiatan telah berjalan. Selipin Sedekah, berawal tujuh orang kini sudah ada sekitar seratus orang anggota. Ia akan terus berkembang dan tetap berjalan menjangkau mimpi.

Banyak pembelajaran dan pengalaman yang tidak aku temui sebelumnya. Bagiku ini sesutau yang luar biasa. Ketika banyak anak muda yang masih asyik bermain-main, Selipin Sedekah mengajarkan bagaimana bersikap kritis dan peka terhadap lingkungan sosial. Tak bisa dielakkan ia banyak mengubahku, mengajariku bagaimana bermanfaat untuk orang lain, sekecil apapun.

Tak ada yang kebetulan di dunia ini kecuali memang Allah sudah menggariskannya. Begitu juga ketika pertaman kali aku mengenal Selipin Sedekah melalui postingan seorang teman di facebook nya. Itulah kenapa sangat penting membuat postingan atau tulisan yang positif di media sosial. Bisa jadi tulisan yang kita bublikasikan menjadi jalan kebaikan untuk orang lain. Pastikan ada manfaat yang bisa orang lain ambil dari tulisan kita. Walaupun ada saja orang yang berpikir negatif tentang kita tersebat tulisan itu. Akupun pernah merasa sakit ketika orang lain mengatakan apa yang aku tulis adalah sesuatu yang tinggi dan tak sesuai kenyataan dengan sikap maupun kehidupanku. Namun, aku rasa tak ada gunanya merasa sakit karena hal semacam itu. Karena memang aku manusia biasa dengan berbagai macam kesalahan. Terkadang apa yang kita tulis adalah untuk menasehati diri sendiri.

Tak ada yang kebetulan di dunia ini, seperti halnya ketika Allah membuat hati ini berdebar tak beraturan saat pertama kali mengenal Selipin Sedekah melaui medsos. Rasa ingin tahu memuncak ketika itu. Tak ada yang kebetulan dan aku percaya itu.
Allah menghujani kesejukan pada hati yang sedang mencari. Mencari sesuatu yang bisa membuatku belajar. Tak berlebihan bukan ketika aku mengatakan aku telah jatuh cinta pada komunitas ini, Selipin Sedekah.

Senin, 18 Desember 2017

Bukan Pecundang



Kepala ini terasa berat. Mata semakin sendu menahan tangis. Keinginan untuk menelfon sesosok perempuan berumur sekitar lima puluh lima tahun semakin memaksa. Sebisa mungkin aku tahan. Aku tak ingin menambah beban untuknya. Aku sudah hafal bagaimana dia, satu kata keluhku bisa membuatnya tak enak makan. Bahkan dengan getar suara saja karena menahan isak yang di dengar nya melalui telfon, bisa saja membuatnya terjaga sepanjang malam. Aku mencari tempat lain untuk menuangkan yang aku rasa namun tak kutemukan.

Aku menemukan diriku bagai pecundang yang hilang arah. Aku merasa terasing dan sendiri. Aku tak bisa mengelak, makian yang tak seberapa itu ternyata semakin merobohkan semangatku. Apabila digambarkan semangat seperti rumah yang mempunyai pondasi untuk berdiri tegak, satu demi satu pondasi itu semakin rapuh dan hancur. Aku tak bisa mengelak, kata-kata dengan nada membentak itu membuatku takut. Aku menjadi takut untuk bertindak. Aku tidak bisa berekspresi. Berniat baik namun menjadi tertuduh. Apa yang salah? Pahamilah itu membuatku sulit melangkah. Haruskah menjadi seorang psikolog untuk memahami hal itu?

Dan aku benar-benar menjadi seorang pecundang ketika dalam diriku ada pengakuan bahwa semangatku telah mati. Namun akupun berterimakasih, makian itu semakin membuatku kuat. Akupun merasa terdorong untuk berintropeksi diri.

Terbesit di benakku jawaban dari perasaan gundah yang tak seharusnya ini. Allah lah jawabannya. Allah merindukan keluh kesah ku, bagaimana bisa aku mencari tempat lain selain Dia sang pendengar yang paling setia juga bersedia menampung apapun keluhku? Bagaimana bisa aku merasa terasing dan sendiri sementara ada Allah yang justru menyuruhku untuk dekat dengan-Nya? Bagaimana bisa aku merasa sedih dan gundah sementara Allah memberi nikmat sehat setiap hari??

Dear Allah, aku bukan pecundang.

Jumat, 15 Desember 2017

AYAH

Kehilangan Part 2


Banyak cerita hari ini, dan salah satu cerita itu dimulai ketika obrolan panjang dengan seorang teman yang mengalir begitu saja. Kehilangan, sebuah perasaan yang menyesakan yang entah kenapa menjadi topik pembicaraan siang tadi.

Ia bercerita betapa pilunya kehilangan yang ia rasa. Aku terfokus mendengar ceritanya, memperhatikan mimik muka serta gerak tangannya. Tak sampai lima menit sudut-sudut matanya telah basah. Ia mengusap air mata itu. Ia tersenyum kepadaku lalu melanjutkan ceritanya.
“Aku membawakan oleh-oleh dari lampung untukmu ayah. Ayah bukankah kau yang mengijinkan aku pergi ke Lampung? Ayah bangun.” Ia bercerita sangat detail bagaimana ketika sang ayah yang begitu ia cintai harus pergi dari kehidupannya.
Ia menyesal pada diri sendiri, menyesal tak menemani sang ayah sebelum akhirnya berpulang. Ia menyeka matanya berulang kali. Ia mengatakan saat itu seperti mimpi. Saat dimana ia tak bisa menahan diri untuk terus menangis.
“Kau tahu aku masih sering menangis di malam hari dan tak dapat memejamkan mata walaupun sudah beberapa bulan ayahku pergi? Kau tahu aku masih sering menanyakan keberadaan ayah kepada ibuku?” ia menunduk. Aku mencoba menjangkau apa yang ia rasa. Tak banyak yang bisa kulakukan selain memintanya untuk bersabar dan  mengiklaskan.

Akupun mengerti bagaimana kehilangan itu. Bahkan aku tak punya kesempatan menjumpai ayahku di hari terakhirnya. Aku tak ada disaat ia berpulang. Aku tak ada ketika ia harus dimakamkan. Perasaan sedih dan marah ketika itu menyelimuti pikiranku. Berbagai macam penyesalan meyerbu. Akupun menyalahkan diri sendiri. Menyalahkan keberadaanku di kota orang.  Menyalahkan tempat dengan jarak ratusan kilo meter yang memisahkan aku dengan ayahku. Menyalahakan kemacetan jalan yang membuatku harus rela tak melihat proses pemakaman nya.

Ayah maafkan aku. Aku satu-satunya anak ayah yang tidak ada di sisi ayah ketika itu. Di hari itu sebelum Ayah pergi, aku dengar kau berulangkali meminta untuk menelfonku tetapi kau mengurungkan niat itu karena kau tahu aku sedang bekerja. Ayah, sampai saat ini, sampai detik  ini aku masih bertanya apa yang ingin engkau sampaikan?

Namun betapapun sangat menyakitkan kehilangan itu, hidup harus tetap berlanjut. Merelakan dan mengiklaskan itu jalan terbaik. Karena semua yang bernyawa pasti akan mati. “Milik Allah apa saja yang ada di langit dan milik Allah apa saja yang ada di bumi.”

Rabu, 06 Desember 2017

Sahabat Taat Part 1

Aku selalu merasa bahagia karena aku punya mimpi. Entah kekecewaan, kesedihan serta kegagalan harus aku temui. Semua orang punya definisi sendiri dengan kata bahagia. Semakin kutemukan bahagia itu ketika orang lain merasa bahagia sebab diri ini. Semakin kutemukan bahagia itu ketika orang lain tersenyum sebab diri ini.

Dan lagi, semua orang punya definisi sendiri dengan kata bahagia. Tak semua orang setuju dengan pemikiran kita. Bahkan terkadang hal yang positif sekalipun tetap dianggap buruk. Yang lebih menyakitkan, yang lebih mengecewakan, orang terdekat kitalah yang sering menganggap buruk niat baik kita. Kenapa? Kenapa ada kecewa dan rasa sakit? Bukankah pengharapan kepada selain Allah hanya akan berbuah kecewa.

Tak mengapa demikian. Tak mengapa terlihat buruk di mata manusia. Aku lebih merasa sedih dan takut terlihat buruk di mata Dzat yang memberi bahagia.

Jalan hijrah tak selamanya mulus. Aku sudah memutuskan di jalan ini. Akupun tahu pasti ada resiko dari keputusan ini. Hijrah sebenarnya mudah, tetapi untuk bisa bertahan sangatlah sulit. Bukan hijrah namanya kalau tidak ada kesulitan. Tak mengapa harus melalui perjalanan terjal dan berliku, Allah maha baik, Ia mempertemukanku dengan orang-orang yang mau menggenggam tangan ini menuju surga-Nya. Dialah sahabat dalam taat yang menguatkan dalam perjalanan ini. Sahabat taat yang tak pernah lelah mengingatkan kebaikan. Sahabat taat yang selalu mengajarkan kesabaran ketika diri ini lemah dan hampir menyerah. Sahabat taat yang dengan lembut mengatakan bahwa kesabaran itu sebenarnya tiada berbatas.

"Sesungguhnya dibelakangmu nanti akan ada hari-hari penuh kesabaran. Sabar pada hari itu seperti hal nya memegang bara api..." (HR.Abu Dawud).




To Be Continue