Kepala ini terasa berat. Mata semakin sendu menahan
tangis. Keinginan untuk menelfon sesosok perempuan berumur sekitar lima puluh
lima tahun semakin memaksa. Sebisa mungkin aku tahan. Aku tak ingin menambah
beban untuknya. Aku sudah hafal bagaimana dia, satu kata keluhku bisa
membuatnya tak enak makan. Bahkan dengan getar suara saja karena menahan isak
yang di dengar nya melalui telfon, bisa saja membuatnya terjaga sepanjang
malam. Aku mencari tempat lain untuk menuangkan yang aku rasa namun tak
kutemukan.
Aku menemukan diriku bagai pecundang yang hilang arah. Aku
merasa terasing dan sendiri. Aku tak bisa mengelak, makian yang tak seberapa
itu ternyata semakin merobohkan semangatku. Apabila digambarkan semangat seperti
rumah yang mempunyai pondasi untuk berdiri tegak, satu demi satu pondasi itu
semakin rapuh dan hancur. Aku tak bisa mengelak, kata-kata dengan nada
membentak itu membuatku takut. Aku menjadi takut untuk bertindak. Aku tidak
bisa berekspresi. Berniat baik namun menjadi tertuduh. Apa yang salah? Pahamilah
itu membuatku sulit melangkah. Haruskah menjadi seorang psikolog untuk memahami
hal itu?
Dan aku benar-benar menjadi seorang pecundang ketika
dalam diriku ada pengakuan bahwa semangatku telah mati. Namun akupun
berterimakasih, makian itu semakin membuatku kuat. Akupun merasa terdorong untuk berintropeksi
diri.
Terbesit di benakku jawaban dari perasaan gundah yang tak
seharusnya ini. Allah lah jawabannya. Allah merindukan keluh kesah ku,
bagaimana bisa aku mencari tempat lain selain Dia sang pendengar yang paling
setia juga bersedia menampung apapun keluhku? Bagaimana bisa aku merasa
terasing dan sendiri sementara ada Allah yang justru menyuruhku untuk dekat
dengan-Nya? Bagaimana bisa aku merasa sedih dan gundah sementara Allah memberi
nikmat sehat setiap hari??
Dear Allah, aku bukan pecundang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar