Share it

Senin, 18 Desember 2017

Bukan Pecundang



Kepala ini terasa berat. Mata semakin sendu menahan tangis. Keinginan untuk menelfon sesosok perempuan berumur sekitar lima puluh lima tahun semakin memaksa. Sebisa mungkin aku tahan. Aku tak ingin menambah beban untuknya. Aku sudah hafal bagaimana dia, satu kata keluhku bisa membuatnya tak enak makan. Bahkan dengan getar suara saja karena menahan isak yang di dengar nya melalui telfon, bisa saja membuatnya terjaga sepanjang malam. Aku mencari tempat lain untuk menuangkan yang aku rasa namun tak kutemukan.

Aku menemukan diriku bagai pecundang yang hilang arah. Aku merasa terasing dan sendiri. Aku tak bisa mengelak, makian yang tak seberapa itu ternyata semakin merobohkan semangatku. Apabila digambarkan semangat seperti rumah yang mempunyai pondasi untuk berdiri tegak, satu demi satu pondasi itu semakin rapuh dan hancur. Aku tak bisa mengelak, kata-kata dengan nada membentak itu membuatku takut. Aku menjadi takut untuk bertindak. Aku tidak bisa berekspresi. Berniat baik namun menjadi tertuduh. Apa yang salah? Pahamilah itu membuatku sulit melangkah. Haruskah menjadi seorang psikolog untuk memahami hal itu?

Dan aku benar-benar menjadi seorang pecundang ketika dalam diriku ada pengakuan bahwa semangatku telah mati. Namun akupun berterimakasih, makian itu semakin membuatku kuat. Akupun merasa terdorong untuk berintropeksi diri.

Terbesit di benakku jawaban dari perasaan gundah yang tak seharusnya ini. Allah lah jawabannya. Allah merindukan keluh kesah ku, bagaimana bisa aku mencari tempat lain selain Dia sang pendengar yang paling setia juga bersedia menampung apapun keluhku? Bagaimana bisa aku merasa terasing dan sendiri sementara ada Allah yang justru menyuruhku untuk dekat dengan-Nya? Bagaimana bisa aku merasa sedih dan gundah sementara Allah memberi nikmat sehat setiap hari??

Dear Allah, aku bukan pecundang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar