Share it

Senin, 19 Maret 2012

Putri Tamaela


Putri Tamaela

    Ahir-ahir ini sering ku lewati hari-hariku dengan nya. Aku merasa nyaman bersamanya, maela gadis yang ku kenal tiga minggu yang lalu di pertigaan jalan kober.
Saat itu pagi-pagi sekali sekitar jam lima lebih seperempat,  aku sedang olahraga di pertigaku menghampirinya dan berkenalan dengannya. Setelah pertemuan itu aku dan maela menjadi akrab.
Tak terasa sudah tiga minggu aku mengenal maela. Itu artinya satu minggu lagi aku harus pulang ke Jakarta. Aku datang ke desa ini bersama ditto dan teman-teman untuk melaksanakan tugas kuliah yaitu mengamati keadaan social budaya di desa ini.kami menginap di rumah pak lurah.
Maela, dia cantik dn menawan, hatiku tergetar saat melihat senyumnya. Senyuman yang indah dari bibirnya yang manis.
     Saat mentari memancarkan cahayanya, saat itulah kebahagiaan menghampiriku. Kebahagiaan ketika aku bersama maela.
“Pagi” dengan semangat maela menyapaku.
“Pagi juga” aku melihat matanya berbinar-binar, senyumnya begitu mengagumkan. Maela tahukah kau dengan perasaan ini? Baru kali ini aku menyadari rasa yang ada di hati ini semakin menyudutkan. Semakin membuat aku tak berdaya mengusai pikiranku. Maela, aku tak pernah berniat untuk memintamu untuk menjadi pacarku. Aku hanya nyaman dengan keadaan ini.
Kuperhatikan tingkahnya yang selalu ceria. Saat ia berjingkat, saat ia meloncat seperti kanak-kanak. Semua yang ada pada dirinya membuat aku semangat menghadapi hidup ini.
Kuperhatikan tingkahnya yang dselalu ceria. Ku lihat kerlingan matanya yang menggoda. “Hei…kamu kenapa lihatin aku terus? Aku cantik yah?” maela mengagetkan aku. Membuat lamunanku buyar. Ia merasa diperhatikan olehku. Matanya yang selalu meneduhkan memelototiku. Membuat aku tersenyum tak lucu. “Siapa bilang kamu cantik?” kataku  mencoba menggoda. Kulihat ia cemberut.“ Ngambek yah kok cemberut gitu?” mencolek dagunya. “Ngak, ngapai aku ngambek seperti anak kecil saja” kata maela membela diri.
“Maela manis kamu memang cantik.”
“Sudah deh nggak usah puji-puji aku.”
“Memangnnya kenapa? Nggak suka dipuji sama orang lain? Kamu memang cantik maela.”
 “Apaan sih” maela tersenyum sambil menabok pundakku.
“Wah…tambah cantik lagi kalau tersenyum.”
“Kamu bisa aja membuat aku tersenyum” hampir saja maela menabok pundakku lagi, untung saja aku segera berlari. Maela mengejarku. Akhirnya kami bermain kejar-kejaran. Aku sangat bahagia saat-saat seperti ini.
“Ga, Ega” tiba-tiba seseorang memanggilku. Ternyata Dito “ ada apa to?”
“Ngapain kamu berlari ke sana ke mari sendirian? Kayak nggak ada kerjaan lain saja. Ntar disangka orang gila baru tahu rasa.”
“Sembarangan kalau ngomong. Aku sedang bermain sama maela.”
“Maela siapa? Perasaan aku baru dengar.”
“Si Mae. Aku kan sudah pernah cerita sama kamu.”
“Terus Mae nya mana?”
“Itu” aku menunjuk Maela. Aku kesal sama Dito, Maela sedang duduk di gubuk kecil itu tetapi Dito pura-pura tidak melihat.
“Mana?” Tanya Dito lagi.
“Itu. Masa kamu nggak lihat sih? Maela sedang duduk di gubuk kecil itu. Maela sini!” maela hanya tersenyum kepadaku.
“Mana? Nggak ada” ditto benar-benar membuat aku naik darah.
“Dito jangan buat aku kesal, pura-pura nggak lihat segala lagi.”
“Ya ampun Ega aku serius. Yang ada kamu yang bikin aku kesal. Di gubuk kecil itu nggak ada siapa-siapa.”
“Ah kamu jangan bercanda. Maela sedang duduk di gubbuk kecil itu, dari tadi dia senyum-senyum ngelihatin kita. Kamu jangan pura-pura nggak melihatnya nanti dia tersinggung.” Aku memandang kearah Maela, dia tersenyum kepadaku.
“Ga, kamu jangan bercanda di gubuk kecil itu nggak ada siapa-siapa.” Dito sedikit emosi kepadaku. Aku heran di buatnya. mengapa dia tak mau mengakui kalau Maela sedang duduk di gubuk kecil itu? Tak biasanya Dito bercanda sampai kelewatan kayak gini. Aku menengok ke gubuk kecil itu, hah Maela ke mana? Kenapa dia tiba-tiba menghilang?
“Dito Maela pergi ke mana? Kenapa dia tidak ada di gubuk kecil itu?”
“Kamu kenapa sih bercanda terus dari tadi? Nggak lucu tahu.” Ditto tertawa terpingkal-pingkal, sementara aku sangat kebingungan.
“Aku serius. Dari tadi kamu menghadap ke gubuk kecil itu, kamu tahu Maela pergi ke mana?” aku benar-benar nggak tahu kenapa Maela pergi.
“Sudah bercandanya? Nggak lucu tahu nggak sih. Mendingan kita pulang sudah laper nih belum sarapan.” Aku tak pedulikan ucapan Dito. Aku masih memikirkan maela. Maela kamu ke mana? Mengapa kau menghilang begitu saja? Apa yang sebenarnya terjadi.
“Kamu kenapa Ga?” Dito tampak heran.
“Aku masih memikirkan Maela.”  Jawabku dengan lemah.
“Ya ampun Ega. Aku harus bilang berapa kali supaya kamu percaya dengan ucapanku. Demi Allah aku nggak melihat siapa-siapa di gubuk kecil itu.”
“Tapi Maela tadi di situ.”
“Sejak kamu cerita tentang Maela aku belum pernah melihat kamu bersama Maela, padahal kamu bilang setiap hari kalian bermain bersama.”
“Setiap hari Aku memang bersama Maela. Aku sudah lama berteman dengannya, sudah hampir satu bulan, to.” Ditto hanya mengernyitkan dahinya, dia geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang perempuan. Sepertinya aku kenal dengan suara itu, suara yang taka sing di telingaku. Tetapi suara siapa?
“Ga, siapa sih menangis. Suaranya keras sekali.”
“Mana aku tahu. Kayaknya suaranya dari sana.” Aku menunjuk ke arah sumber suara.
“Hah…kuburan?” ditto Nampak terkejut.
“Ke sana yuk!”
“Yang benar saja Ga? Nggak ah.” Ditto hampir saja pergi tetapi aku segera menarik tangannya “Ayo nggak apa-apa.”
Aku dan Dito berjalan menuju kuburan yang berada di seberang gubuk kecil tempatku biasa bermain dengan Maela. Dengan perlahan kami memasuki kuburan.
“Ga, pulang saja yuk!”
“Ntar dulu, aku penasaran siapa pemilik suara tangisan ini.”
Kami berjalan semakin ke tengah. Suara tangisan itu tiba-tiba terhenti. Aku merasa gemetar dan gelisah.”Ga, kenapa suaranya menghilang?” bisik Dito dengan suara gemetar.
“Entahlah.”
“Pulang yuk! Perasaanku tidak enak nih.”
“Aaaakh….tiba-tiba saja kakiku terpeleset. Aku terjatuh. Ditto juga ikut terjatuh karena tertarik oleh tanganku. Akh…pantatku terasa sakit.
“Aduh kakiku sakit banget Ga.” Dito mengeluh.
“Aku juga sakit.”
“Ga, lihat itu.” ditto menunjuk sebuah batu nisan di hadapan kami. Sementara tangan kirinya meremas  pundakku.
Aku sangat terkejut tatkala melihat sebuah batu nisan di hadapanku. Batu nisan itu bertuliskan : Putri Tamaela, lahir 25 april 1998, wafat 11 januari 2010. Jadi putri tamaela yang selama ini aku kenal dia sudah tiada. Kenapa bisa begini? Aku sangat takut dan gemetar.