Share it

Jumat, 15 Desember 2017

AYAH

Kehilangan Part 2


Banyak cerita hari ini, dan salah satu cerita itu dimulai ketika obrolan panjang dengan seorang teman yang mengalir begitu saja. Kehilangan, sebuah perasaan yang menyesakan yang entah kenapa menjadi topik pembicaraan siang tadi.

Ia bercerita betapa pilunya kehilangan yang ia rasa. Aku terfokus mendengar ceritanya, memperhatikan mimik muka serta gerak tangannya. Tak sampai lima menit sudut-sudut matanya telah basah. Ia mengusap air mata itu. Ia tersenyum kepadaku lalu melanjutkan ceritanya.
“Aku membawakan oleh-oleh dari lampung untukmu ayah. Ayah bukankah kau yang mengijinkan aku pergi ke Lampung? Ayah bangun.” Ia bercerita sangat detail bagaimana ketika sang ayah yang begitu ia cintai harus pergi dari kehidupannya.
Ia menyesal pada diri sendiri, menyesal tak menemani sang ayah sebelum akhirnya berpulang. Ia menyeka matanya berulang kali. Ia mengatakan saat itu seperti mimpi. Saat dimana ia tak bisa menahan diri untuk terus menangis.
“Kau tahu aku masih sering menangis di malam hari dan tak dapat memejamkan mata walaupun sudah beberapa bulan ayahku pergi? Kau tahu aku masih sering menanyakan keberadaan ayah kepada ibuku?” ia menunduk. Aku mencoba menjangkau apa yang ia rasa. Tak banyak yang bisa kulakukan selain memintanya untuk bersabar dan  mengiklaskan.

Akupun mengerti bagaimana kehilangan itu. Bahkan aku tak punya kesempatan menjumpai ayahku di hari terakhirnya. Aku tak ada disaat ia berpulang. Aku tak ada ketika ia harus dimakamkan. Perasaan sedih dan marah ketika itu menyelimuti pikiranku. Berbagai macam penyesalan meyerbu. Akupun menyalahkan diri sendiri. Menyalahkan keberadaanku di kota orang.  Menyalahkan tempat dengan jarak ratusan kilo meter yang memisahkan aku dengan ayahku. Menyalahakan kemacetan jalan yang membuatku harus rela tak melihat proses pemakaman nya.

Ayah maafkan aku. Aku satu-satunya anak ayah yang tidak ada di sisi ayah ketika itu. Di hari itu sebelum Ayah pergi, aku dengar kau berulangkali meminta untuk menelfonku tetapi kau mengurungkan niat itu karena kau tahu aku sedang bekerja. Ayah, sampai saat ini, sampai detik  ini aku masih bertanya apa yang ingin engkau sampaikan?

Namun betapapun sangat menyakitkan kehilangan itu, hidup harus tetap berlanjut. Merelakan dan mengiklaskan itu jalan terbaik. Karena semua yang bernyawa pasti akan mati. “Milik Allah apa saja yang ada di langit dan milik Allah apa saja yang ada di bumi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar