Banyak cerita hari ini, dan salah satu cerita itu dimulai
ketika obrolan panjang dengan seorang teman yang mengalir begitu saja.
Kehilangan, sebuah perasaan yang menyesakan yang entah kenapa menjadi topik
pembicaraan siang tadi.
Ia bercerita betapa pilunya kehilangan yang ia rasa. Aku
terfokus mendengar ceritanya, memperhatikan mimik muka serta gerak tangannya.
Tak sampai lima menit sudut-sudut matanya telah basah. Ia mengusap air mata itu.
Ia tersenyum kepadaku lalu melanjutkan ceritanya.
“Aku membawakan oleh-oleh dari lampung untukmu ayah. Ayah
bukankah kau yang mengijinkan aku pergi ke Lampung? Ayah bangun.” Ia bercerita sangat
detail bagaimana ketika sang ayah yang begitu ia cintai harus pergi dari
kehidupannya.
Ia menyesal pada diri sendiri, menyesal tak menemani sang
ayah sebelum akhirnya berpulang. Ia menyeka matanya berulang kali. Ia
mengatakan saat itu seperti mimpi. Saat dimana ia tak bisa menahan diri untuk
terus menangis.
“Kau tahu aku masih sering menangis di malam hari dan tak
dapat memejamkan mata walaupun sudah beberapa bulan ayahku pergi? Kau tahu aku
masih sering menanyakan keberadaan ayah kepada ibuku?” ia menunduk. Aku mencoba
menjangkau apa yang ia rasa. Tak banyak yang bisa kulakukan selain memintanya
untuk bersabar dan mengiklaskan.
Akupun mengerti bagaimana kehilangan itu. Bahkan aku tak
punya kesempatan menjumpai ayahku di hari terakhirnya. Aku tak ada disaat ia
berpulang. Aku tak ada ketika ia harus dimakamkan. Perasaan sedih dan marah
ketika itu menyelimuti pikiranku. Berbagai macam penyesalan meyerbu. Akupun menyalahkan
diri sendiri. Menyalahkan keberadaanku di kota orang. Menyalahkan tempat dengan jarak ratusan kilo
meter yang memisahkan aku dengan ayahku. Menyalahakan kemacetan jalan yang
membuatku harus rela tak melihat proses pemakaman nya.
Ayah maafkan aku. Aku satu-satunya anak ayah yang tidak
ada di sisi ayah ketika itu. Di hari itu sebelum Ayah pergi, aku dengar kau berulangkali
meminta untuk menelfonku tetapi kau mengurungkan niat itu karena kau tahu aku
sedang bekerja. Ayah, sampai saat ini, sampai detik ini aku masih bertanya apa yang ingin engkau
sampaikan?
Namun betapapun sangat menyakitkan kehilangan itu, hidup
harus tetap berlanjut. Merelakan dan mengiklaskan itu jalan terbaik. Karena semua
yang bernyawa pasti akan mati. “Milik Allah apa saja yang ada di langit dan
milik Allah apa saja yang ada di bumi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar