Share it

Selasa, 27 Maret 2018

Kehilangan Part 3



Setelah tangisan yang tak terbendung itu usai dan mengering, aku kembali dengan kebisuanku. Mulutku kembali tak bisa berkata sedikitpun. Rasa pusing dan pening bersarang di kepala. Disusul dengan rasa nyeri yang menjalar ke ulu hati, kemudian aku merasa seluruh tubuh terasa lemas.
Dua orang teman kerja menghampiriku di Pos Security, wajahnya menggariskan rasa iba. Mereka mengantarku ke ruang HRD pada jam istirahat. Tanpa menunggu lama seseorang di ruang itu memberi ijin untuk kepulanganku. Dua orang temanku mengambilkan tas dan sweater di ruang kerja yang berjarak sekitar seratus meter dari Pos Security. Di wajah-wajah mereka terlihat guratan-guratan kesedihan.
Jum`at siang yang terik. Aku seolah dipaksa pergi dari tempat kerja. Suatu keharusan yang memaksa menempuh jarak jauh tanpa persiapan.Tubuhku yang dari pagi fit dan tak ada rasa sakit seketika menjadi lemah.
Pernah pada suatu forum diskusi online yang anggotanya berisi ibu-ibu membahas mengenai kesehatan. Yang aku ambil dari diskusi-diskusi panjang itu mengenai sangat berpengaruhnya pikiran terhadap kesehatan fisik. Iyah memang benar, akupun menyadarinya pikiran sangat mempengaruhi kesehatan. Namun aku tak bisa mencegah berbagai macam rasa yang bersarang di hati mulai menyibukan pikiran. Marah, sedih, tak terima juga putus asa menjadi satu kesatuan ngilu yang teramat parah.
Laju mobil membawaku pada keramaian kota Jakarta. Hawa panas kota dan kesibukannya seakan menguap dan memenuhi ruangan mobil yang aku tumpangi. Namun panasnya tak mampu menghangatkan tubuhku yang dibanjiri keringat dingin. Aku merasakan nyeri yang begitu kuat di perutku. Mungkin ini yang dinamakan sakit Magh. Atau mungkin karena akibat tak selera makan siang tadi.
Suatu perjalanan yang berat menurutku, aku hanya bisa berdiam diri di kursi mobil bagian tengan sebelah kiri. Mobil berwarna silver yang aku tumpangi  berhenti di sebuah jalan perkotaan jakarta, tepatnya di daerah mana aku tak peduli. Seorang laki-laki yang mengemudi turun dari mobil. Menunggu seseorang. Selang berapa menit seorang laki-laki berbadan agak gemuk dan seorang laki-laki berbadan kurus datang menghampiri. Mereka menyalami kemudian memasuki mobil silver yang aku tumpangi.

Kedua laki-laki tersebut mengusap-usap kepalaku bergantian. Mereka memintaku untuk bersabar. Aku mengangguk pelan. Mobil melaju cepat. Hanya ada tatapan kosong sepanjang jalan. Kedua tanganku menekan perut, aku merasa sakit yang hebat sampai ke ulu hati.
Waktu berjalan dimakan takdir. Garis-garis kuning di langit ujung barat mulai terlihat. Senja sore semakin terlihat indah. Tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara yang mengeluh kesakitan. Suara seorang perempuan yang duduk di bagian depan. Mobil berhenti. Perempuan berumur sekitar lima puluh tahun itu pindah ke kursi tengah duduk bersampingan denganku. Ia mengoleskan minyak aromaterapi ke leher bagian belakang dan ke bagian perut. Kondisinya lemas. Bagaimana tidak ia hampir tak berhenti menangis sejak siang tadi ketika menjemputku di tempat kerja.
Perjalanan dirasa sangat lama. Macet dimana-mana. Aku tak bisa mengontrol perasaanku. Rasa marah dan sedih bercampur. Mobil berhenti di sebuah pelataran masjid di daerah Cikampek. Setelah istirahat dan sholat asyar mobil melaju menyusuri kemacetan.

Waktu terus berjalan disapu oleh gelap. Pasar Tegal gubuk Cirebon terlihat ramai oleh para pedagang grosir di setiap sisi yang terlihat oleh mata. Pembangunan jalan Tol membuat macet di beberapa jalur Cirebon-Brebes. Perjalanan menuju kota tempat kelahiran menggunakan jalan-jalan yang tidak biasanya dilewati. Jalur alternatif penuh sesak oleh kendaraan. Suasana seperti mudik lebaran.
Aku masih dicengkeram oleh kekosongan. Kesedihan memeluk erat. Percakapan dengan seseorang siang tadi melalui telfon ketika mobil terhenti di keramaian Kota jakarta masih memenuhi pikiranku.
"Tidak baik kalo ada penundaan, pemakaman harus segera dilakukan. Kalau harus menunggu kamu pulang, sudah bisa dipastikan waktunya tidak akan cukup." Suara seorang laki-laki di sebrang sana membuatku tak punya pilihan. Aku meng iya kan tanda setuju.

Rasa menyesal, sedih, terluka dan marah menyerbu jiwaku. Aku harus merelakan tidak menemui seseorang yang benar-benar ingin aku temui barang sebentar saja untuk yang terakhir kali. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku bertemu dan berbicara dengan nya. Aku bahkan tak bisa memastikan apakah aku sudah membuatnya tersenyum dalam hidupnya yang keras atau mungkin apakah aku hanya membawa air mata untuknya.

Gelap berselimut angin yang dingin. Angka di layar Hp ku menunjukan pukul 22.15. Mobil terhenti tepat di depan sebuah rumah berukuran kecil. Aku dan keempat penumpang lainnya turun dari mobil dan beranjak memasuki rumah itu. Senyum-senyum hangat menyambut, namun tatapan kosong aku lihat dari wajah-wajah itu.

Perjalanan yang panjang dan melelahkan itu menyisakan kekosongan yang dalam. Tak berperi. Satu kenyataan yang memaksaku untuk menerima, kehilangan yang menyesakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar