Share it

Sabtu, 07 April 2018

AWAN #1

Aku terpana pada sebuah kisah. Kisah yang menurutku amat mengagumkan. Hiduplah sebuah keluarga kecil, mereka adalah pasangan suami istri. Namanya adalah Zaghanos dan istrinya bernama Halima. Merwka mempunyai tiga orang anak. Zaganos adalah seorang pendakwah yang cerdas yang namanya terkenal di seluruh penjuru Negeri. Negeri itu bernama Negeri Awan.

Tahun 2018 dimana teknologi semakin merambah keseluruh bagian Negeri Awan. Anak-anak kecil sudah terbiasa dengan dunia digital. Permainan-permainan tradisional sudah sangat jarang ditemui. Anak-anak di Negeri Senja disibukan dengan dunia digital yang sebenarnya telah meracuni pikiran meraka.  Kontrol serta pengawasan orang tua harus benar-benar sempurna untuk melindungi anak-anaknya dari bahaya kemajuan teknologi yang tak terbendung.

Di era majunya teknologi dimana anak-anak muda menghabiskan waktunya berselancar di dunia maya berkecimpung di berbagai media sosial, hampir tidak mungkin jika mereka tidak mengenal sosok Zaghanos. Zaghanos, ia juga seorang pegiat media sosial yang berjuang mendakwahkan islam melalui dunia maya. Ia menyadari hidup manusia sekarang ini bahkan lebih banyak berada di dunia maya, untuk itu ia merasa perlu berdakwah melalui media sosial. Melalui tulisan.

Aku salah satu orang yang mengagumi sosok Zaghanos. Tulisan-tulisannya selalu membuka pikiran. Tulisan-tulisan nya menunjukan bahwa ia adalah orang yang cerdas dan mempunyai tingkat keilmuan yang tinggi. Kecerdasannya membuatku berpikir bahwa Negeri Awan sangatlah beruntung mempunyai rakyat seperti Zaghanos. Sesosok laki-laki yang sangat kritis atas permasalahan-permasalahan yang menimpa negeri. Ia sangat berani menyuarakan kebenaran dan melawan kemungkaran meski harus berhadapan dengan penguasa yang amat dzolim.

Di belahan bumi lain ratusan tahun silam, sesosok anak muda bernama Zaghanos  tengah merasakan penasaran yanga amat tinggi. Hari-harinya penuh tanda tanya besar yang belum terjawab. Ia tinggal bersama ayahnya di Morea. Ayahnya adalah seorang pendeta yang taat. Ayahnya sering mengisi ceramah di gereja Hagia Sofia di Konstantinopel. Sama seperti ayahnya, Zaghanos juga seorang penganut kristen Ortodhox yang taat.

Zaghanos menghabiskan waktunya dengan belajar. Buku-buku di rumah nya bertumpuk hingga menjuntai sampai ke langit-langit. Di rumah yang sederhana yang hanya ada dua ruangan itu hampir tak ada yang terlihat kecuali tumpukan buku. Tidak bisa dipungkiri aku sangat mengagumi Zaghanos karena kecintaannya terhadap buku. Laki-laki berkebangsaan Yunani itu mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi. Berkat ketekunannya membaca dan rasa penasaran yang tinggi jalan kebenaran membentang di hadapannya.

Orang yang mau menggunakan akalnya untuk berpikir sudah tentu ia mau menerima kebenaran. Akalnya berpikir, ilmu begitu cepat dilahapnya hingga ia menemukan bukti adanya kebenaran yang harus ia ikuti.

Cahaya islam menerangi hati Zaghanos. Selepas ayahnya meninggal ia meninggalkan morea menuju Mekteb i Harbiye (akademi militer turki ustmani) menemui seseorang yang pernah di tolong oleh ayahnya. Ia mencari jawaban atas pertanyaan nya yang belum sempat dijawab oleh Syaikh Qurani ketika singgah di rumahnya karena mengalami kecelakaan dua tahun silam.

Rasa ingin tahu dan penasaran menjadikan Zaghanos seorang muslim. Sudah sangat lama dihatinya menyimpan pertanyaan apakah benar Konstantinopel yang kokoh ribuan tahun akan ditaklukan oleh pasukan muslim? Hari itu di Mekteb I Harbiye cahaya islam terang benderang di hati Zaghanos, ia berikrar menjadi seorang muslim dihadapan Syaikh Qurani.

Kisah penaklukan Konstatinopel ratusan tahun lalu sangat mengagumkan hingga kini. Jujur akupun sangat mengagumi sejarah-sejarah penaklukan itu. Aku mengagumi para kesatria muslim yang berjuang menegakan hukum-hukum Allah. Menegakan bisyarah Rasulullah. Kisah-kisah itu membuatku bermimpi bahwa suatu saat nanti aku akan menceritakan kisah-kisah heroik itu kepada anak-anakku kelak.

Di belahan bumi lain yang terpisah oleh rentang waktu yang sangat lama, yaitu di Negeri Awan ini, kehidupan seorang penulis bernama Zaghanos juga tak kalah mengagumkan. Sangat mengagumkan menurut penilaianku.

Aku termenung di teras rumah pada sore yang syahdu dengan tiupan angin yang menelisik ke celah-celah pepohonan. Aku merenung, apakah aku hanya berdiri sebagai pengagum? Tak bisakah Aku menjadi seperti Zaganos itu? Penulis juga pendakwah hebat.

Akh, nampaknya aku mulai berlebihan. Bagaimana bisa orang malas sepertiku bisa menjadi penulis. Apalagi pendakwah, jauh sangat jauh, Aku hanya debu yang terbang disapu angin lalu jatuh di dasar tanah dan terinjak oleh kaki-kaki manusia.

Namun, merasa putus asa bukanlah gayaku. Tak mengapa Aku tak pandai dan cerdas seperti Zaghanos yang aku kagumi itu. Selagi Aku masih berdiri dan berjalan pada jalan yang diridhoi sang pencipta jagad raya ini, Aku masih merasa beruntung. Aku adalah Awan di Negeri yang juga bernama Awan.

Aku tak pernah protes sedikitpun kenapa orang tuaku memberiku nama Awan. Nama yang menjadi bahan ledekan teman-teman. Awan, kenapa Awan? Entah kenapa mereka selalu meributkan namaku. Padahal Aku tak pernah meributkan ataupun protes nama-nama mereka.

Awan

Entah seberapa jauh ia di atas sana
Entah seberapa tinghi ia bertahta di atas sana
Ia selalu siap meluruh menjadi butiran-butiran bening
Jatuh membasahi bumi

Ia mengalir mengikuti skenario Dzat yang Menciptakan keindahan
Ia awan putih yang berkerumunan yang seakan menyelimuti langit biru yang menawan
Ia selalu siap jika harus menjadi gumpalan-gumpalan yang menghitam,
Ia selalu siap menjatuhkan diri meninggalkan ketinghian

Awan
Allah menciptakanmu dengan sangat indah.

Mungkin ini adalah alasan kenapa orangtuaku memberiku nama Awan, agar aku selalu patuh dan taat kepada sang pencipta yang menciptakan awan yang indah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar