Share it

Rabu, 24 April 2019

Hanya Sebuah Gambar




Dua hari ini aku merasa sangat riweh dengan pekerjaan. Pasalnya setelah perusahaan tempatku bekerja mengikuti pameran di Jakarta awal april lalu, berhasil menarik customer baru berdatangan. Sebetulnya ini kabar baik, itu artinya perusahaan tempatku bekerja masih produktif. Namun hal itu juga menjadi beban baru buatku. Aku yang bertanggung jawab di bagian Development tentu harus memproses segera segala bentuk sample yang diminta para customer baru. Disamping masih memegang beberapa customer dari  brand ternama di bidang sepatu, aku juga  memegang beberapa customer luar seperti NB Vietnam, Cina dan Taiwan.

Serius ini sangat menguras tenaga dan pikiran. Berhasil membuatku istigfar sepanjang hari. Istigfar, berusaha menenangkan diri agar jangan sampai ada keluh kesah dalam hati. Aku berusaha cepat menyelesaikan pekerjaan yang ada meskipun sebetulnya pekerjaan itu berdatangan silih berganti sekalipun siang berganti dengan gelap.



Membalas email para customer, update data sample terbaru, menyalurkan sample PO ke bagian lain untuk diproses di produksi, membalas chat WA customer terkait update terbaru material, menyiapkan form untuk perhitungan harga material,  tracking material yang sudah terkirim bahkan harus berhadapan dengan para customer yang crewetnya gak ketulungan, melebihi cerewetnya bibiku😂 dan masih banyak keriwehan lainnya. Itulah resiko yang yang harus aku ambil ketika memutuskan untuk bekerja. Begitupun ketika aku memutuskan untuk beriman, ada konsekuensi yang harus aku ambil yaitu patuh dan tunduk hanya kepada-Nya. Hanya terikat kepada aturan-aturan-Nya. Meski secuil, meski cetek, meski setitik ilmu keislaman dalam diriku, berpegang pada syari'at-Nya adalah keharusan.

Sekitar pukul 10.30, aku menyempatkan diri menyimak grup #StoryTelling. Banyak sekali chat yang belum aku simak. Aku teringat tidak mengikuti kulwa yang diadakan kemarin malam. Mohon maaf muridmu yang satu ini cikgu🙏

Kemudian aku scroll timeline WA, banyak chat yang belum aku balas sejak kemarin. Aku tertuju pada nomor baru yang menyampaikan salam di chat WA. Aku membalas chat nomor baru itu. Menyampaikan maaf baru sempat membalas, menanyakan nama karena memang aku belum mengenalnya, dan juga menanyakan ada keperluan apa.

Setelah sesi perkenalan. Ia menanyakan "Mbak kalo harga baju muslim itu berapa?"

Aku mengerutkan dahi. Baju muslim apa yang ia maksud? Apakah aku memposting sesutu di medsosku yang beraroma baju-baju untuk dijual? Rasanya tidak.

"Itu loh mbak baju warna cream kombinasi maroon yang buat ibu-ibu pengajian." Ia menjelaskan.

Oh yahh itu memang baju yang aku buat untuk teman kerjaku, katanya untuk  ibu-ibu pengajian di tempat kelahirannya, yaitu lampung.

"Mbak dari mana?" Aku lupa belum menanyakan alamatnya.

"Aku dari lampung tengah mbak."

Aku jadi paham, ia mungkin sudah melihat gamis dan khimar yang sudah sampai di lampung itu. Dua hari yang lalu memang teman kerjaku pulang membawa gamis cream maroon pesanannya yang berjumlah 34 pcs.

Sebetulnya aku sedikit tak percaya, teman kerjaku itu bisa-basanya memesan gamis-gamis itu. Ia dari awal minta dibuatin gamis padahal aku tidak bisa jahit ataupun punya barang jualan. Begitupun teman-teman dari departemen lain, meski sehari-hari mereka tidak mengenakan gamis dan khimar yang menutup dada, pembicaraan mengenai pergamisan sering terjadi diantara kami. Mulai dari masalah harga hingga mengenai gamis terkenal sejagat instagram.

Beberapa teman kerja ada yang menuturkan keinginannya memakai gamis namun merasa belum siap, merasa takut nanti gerah dan alasan-alasan lainnya yang kadang bikin geleng-geleng kepala. Keinginan-keinginan mereka memakai gamis seolah hanya keinginan dalam mimpi, iyah hanya mimpi, keinginan hanya sebatas keinginan tak ada action nyata hingga kini. Namun aku tetap suka mendengar curcol mereka. Aku menanggapi dengan santai sambil sedikit-sedikit dibumbui ajakan untuk menutup aurat dengan sempurna.

Salah satu temanku bahkan memaksaku untuk membuat gamis. Membuat? Bagaimana caranya?
"Ayolah vi, kamu buat gamis. Aku nanti pesan buat ibu dan teman-temannya.."

Aku cuma bisa nyengir. Bikin gamis gimana caranya sist?

Meski beberapa kali aku kasih rekomendasi akun ig yang jual gamis-gamis bagus, temenku itu masih saja maksa untuk dibuatin gamis. Seolah percaya aku bisa dengan mudah menyulap bahan menjadi gamis yang super cantik tanpa sentuhan si tukang jahit.

Entah bagaimana mulanya akupun meng iya kan saja keinginan temenku itu.

"Mau bikin gamis kaya apa? Modelnya kayak gimana?" Aku bertanya seolah tahu mengenai proses pembuatan gamis.

Temenku berimajinasi menjabarkan apa saja yang ada di pikirannya mengenai gamis yang ia inginkan. Akupun ikut berimajinasi membayangkan gamis itu. Beberapa hari kemudian aku menyodorkan tiga gambar manual dengan goresan pensil warna, design gamis sederhana ala silvi😂

Hanya sebuah gambar. Temanku memutuskan untuk memesan sebanyak 34pcs gamis dan juga khimar hanya dengan melihat gambar yang aku sodorkan.

Entah ini kenekatan macam apa, bisa-bisanya aku menyanggupi. Bagaimana caranya menyulap gambar itu menjadi real? Aku sama sekali tidak tahu.

Nyatanya, 34 pcs gamis itu kini sudah menyeberangi lautan dan telah sampai di Lampung. Bukan hanya itu 3pcs lainnya sudah berada di Temanggung dan beberapa pcs lainnya ada di tangan temanku yang berdomisili di Cikande.

It's amazing. Gambar-gambar di kertas itu membawaku pada perjalanan penuh pelajaran.


#Gambar
#TugasStorytelling

Tidak ada komentar:

Posting Komentar